5

6.8K 883 48
                                    

"Ibu pingsan." 

"Bukan urusanku!" aku bangun saat menyadari mas Ar ingin duduk di samping. Dia baru pulang dari rumah orang tuanya. 

"Kamu tidak bisa akur dengan ibu?"

"Jangan membuat drama Mas. Aku tidak suka." masuk ke kamar aku mengunci pintu, sedikit terkejut saat melihat Keysa ada di dalam.

"Kamu ngapain Key?"

"Buku gambar Key hilang, Key cari di sini tidak ada juga."

"Kamu taruh di mana?" 

Keysa menggeleng. Tadi siang Key menggambar di sini. Berarti pas aku pergi ke rumah ibu mas Ar. "Nanti Mama cariin. Key tidur ya, sudah malam."

"Pintunya kenapa dikunci Ma?"

Aku tidak menjawab, mendekat ke arah pintu aku membantu Key membuka pintu. "Jangan lupa matiin lampu Key," pesanku. Dengan cepat mas Ar mengambil kunci di pintu dan mengantar Key ke kamarnya.

Aku tahu mas Ar mau bicara, dan aku tidak mau mendengar apapun. Tadi aku pergi dari rumah ibunya karena tahu, makin lama di sana sama saja mempermalukan diri sendiri.

"Ibuku ibu kamu juga, Gendis." mas Ar masuk dan menutup pintu kamar. "Ibu sudah tua, kamu bisa kan memakluminya."

"Tidur Mas. Cukup ibumu yang bikin aku gila hari ini."

"Jaga bicaramu," tegur mas Ar dengan tegas. "Kamu orang pendidikan, pilih bahasa yang bagus."

Rasanya aku ingin meludah. "Makanya aku bilang tidur, tidur!" aku naik ke ranjang bersiap menarik selimut.

"Coba kamu pikir, hampir semua masalah kamu dengan ibu karena uang, benar tidak?"

Jadi dia tidak mau tidur? "Mas benar mau bicara?" 

Raut mas Ar tenang. "Antara kamu dan ibu, tidak capek berantem dan salah paham terus?"

"Tanyakan ibumu. Kurasa semua menantu di muka bumi ini tidak akan terima jika punya ibu mertua sepertinya."

"Dia ibuku, Gendis." mas Ar tidak henti mengingatkanku. "Dia ibu kita."

"Aku memilih tidak punya ibu jika harus dia."

"Gendis!"

"Sudahlah Mas." aku juga capek. Perang batin karena ibu mertua bukan hanya dalam minggu ini, tapi sejak menikah dengan mas Ar dan semakin menjadi saat mas Ar mendapatkan pekerjaan tetap.

"Mari bicarakan tentang kita." yang seharusnya  tidak ada yang perlu dibicarakan melihat sikapnya yang hanya tegas kepadaku. "Tujuanku menikah bukan untuk menghadapi masalah seperti ini. Aku mau menikah karena berharap Mas bisa melindungiku, nyatanya Mas masih manjaga keluarga Mas tanpa peduli bagaimana perasaanku."

"Itu perasaanmu," elak mas Ar. "Aku mencintaimu---"

"Rumah tangga tidak hanya butuh cinta Mas." pahit, asam dan asin sebuah hubungan memang ada, namun bukan hanya menampungnya dalam satu wadah. Akan lebih baik jika sama-sama mencari solusi, bukan malah membela yang salah.

"Aku istri. Wanita yang melahirkan anakmu. Jika kamu bisa menghargai ibu, seharusnya kamu juga bisa menghargaiku!" mas Ar diam, tatapannya masih lurus padaku. "Kalau memang Mas tidak bisa menjadi imam, aku siap dicerai."

"Gendis!"

"Atau Mas mau aku yang melakukannya?"

"Cukup Gendis!"

"Kenapa? Masih banyak wanita di luar sana yang mau menjadi istri Mas!" walaupun aku tahu mereka akan ragu jika tahu sifat asli ibu mas Ar. "Lagi pula, ibu sedikitpun tidak menyukaiku dan Mas tidak berusaha memperbaiki hubungan kami." menarik nafas dalam aku melanjutkan. "Mas hanya berani menekanku di rumah, sedangkan ibu dan Yeni mas biarkan. Sekali-kali buka mata Mas, lihat sikap mereka!" 

Mas Ar tidak buta, aku tahu. Dia hanya menutup mata untuk permasalahan ini. Memilih keluarganya karena alasan bakti. "Ceraikan aku, Mas bisa memberikan seluruh gaji Mas untuk mereka tanpa ada yang terluka lagi. Mas leluasa meluangkan waktu tanpa harus berbohong lagi."

"Buang pikiran sempit itu Gendis."

"Jangan mempertahankan hubungan yang secara sadar sedang Mas hancurkan." bagiku itu sama saja bohong, karena dasarnya tak ada lagi pondasi yang kuat.

"Kamu sedang emosi."

"Dan akan selalu seperti ini karena kamu dan keluargamu itu, Mas. Aku minta berpisah baik-baik!"

"Lupakan. Tidak akan ada perpisahan. Sudah kubilang kali ini aku tidak memberikan cuma-cuma, aku mengutangi ibu."

"Persetan. Aku tidak suka laki-laki tak punya prinsip dalam rumah tangga!"

"Aku suamimu, Jaga bicaramu Gendis!"

"Bagiku, kamu anak ibu Mas. Bukan suamiku."

Aku selingkuh punya alasan MasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang