Kepada mba Lea aku sudah menceritakan tentang sikap ibu mertuaku juga Yeni. Jika dulu mba Lea menyuruhku sabar kini dia yang paling bersemangat menyuruhku cerai dari mas Ar.
"Janjinya dulu dia mau menjagamu, bukannya menjaga malah kamu dikasih ke mulut harimau."
Aku tidak menangis, hati masih sakit mengingat semuanya. Perjuanganku harus berhenti di sini. Percuma bertahan kalau hati tak lagi damai. Tak apa jika kerja keras mas Ar tidak memperlihat hasil, setidaknya aku bisa menghindar dari kegilaan keluarganya.
"Heran aku, kamu cuma ngoceh aja di sana tanpa melawan sedikitpun."
"Mba mau aku melakukan apa? Balas menjambak rambut ibu mas Ar, atau memukulnya dengan sapu?"
"Apa saja, yang penting dibalas."
"Aku masih punya nurani, Mba. Aku ke sana dengan maksud baik dan sedikit memberikan pelajaran." dan tidak tahunya mereka menyerang.
Mba Lea kesal. "Harusnya kamu telepon aku, biar mereka tahu kita tidak bisa ditindas."
Aku pikir bisa sendiri. Senekad-nekadya aku masih punya nurani.
"Diluar konteks kalau dia mulai menyerang, kamu bisa membalasnya." mba Lea menyodorkan kapas yang sudah ditetesin Betadine.
Menggunakan cermin kecil, aku melihat kening yang terkena lemparan sapu. Sedikit berdarah, saat kutekan lumayan sakit.
"Gila aja kamu ngomel sepanjang hari sama orang begituan! Enggak sekalian gila kamu?"
Buktinya tidak. Aku baik-baik saja.
"Armada di luar." mas Ferdi memberitahu kami, namun belum membuka pintu.
"Suruh masuk, aku akan menghajarnya."
Aku diam saja. Hampir setengah hari aku di sini dia baru datang, ingin tertawa rasanya. Begitu pintu terbuka mba Lea langsung menampar dan menonjok mas Ar hingga laki-laki itu kelimpungan.
"Kurang ajar kamu! Istri yang harusnya kamu jaga malah kamu sakitin, lebih membela keluargamu itu!" sekali lagi mba Lea menonjoknya. Luar biasa memang emosi ibu hamil. Hormonnya sangat mendukung. Mba Lea mencercanya lagi. "Buta kamu enggak bisa lihat? Di mana keluargamu saat kalian hidup susah? Bahkan sampai saat ini kalian belum bisa hidup layak keluargamu sudah jadi benalu!" dan sekali lagi mba Lea menonjok hidung mas Ar.
Aku duduk dengan tenang memperhatikan aksi mba Lea, sedang mas Ferdi tampak tidak tenang, mungkin takut terjadi apa-apa pada kandungan mba Lea.
"Aku menikahkanmu dengan Gendis bukan untuk kamu sakitin, kira-kira tidak bisa hidup dengan adikku baiknya kau lepaskan!"
Penasaran aku melihat keadaan mas Ar. Lumayan tuh. Hanya berdarah hidungnya, paling wajahnya bengkak besok. Tidak setimpal dengan yang dilakukan ibu dan adiknya padaku.
"Aku mau jemput Gendis."
"Masih berani kamu menjemputnya?!" emosi mba Lea belum pulih. "Kamu cukup tunggu di rumah, aku yang akan membawa surat cerai untukmu!"
Malas melihat mukanya aku masuk ke kamar. Panggilan mas Ar kuabaikan. Untuk apa mengurusnya, kening dan hatiku masih sakit.
"Aku mencintainya."
Dibalik pintu kamar aku mendengar pengakuan cinta bullshit.
"Bilang sama ibu dan adikmu. Mereka lebih percaya dari pada Gendis." suara mba Lea masih tersirat emosi. "Kamu lihat sendiri kan? Gendis memilih masuk ke kamar dari pada berurusan denganmu!"
Anehnya aku tidak mendengar suara mas Ferdi, apakah kakak iparku juga takut saat mba Lea naik pitam?
"Aku sudah bicara dengan ibu, aku sudah menyelesaikan baik-baik." terbata kalimat itu di ucapkan, mungkin karena menahan sakit.
"Apa yang kamu bicarakan dengan baik-baik? Minta maaf atas kesalahan Gendis, atau menyuruh keluargamu maklum dengan sikap Gendis?"
Aku tidak ingin mendengar lagi, sepertinya tidur adalah pilihan terbaik. Bukan hanya raga, jiwaku ikut lelah setelah melewati hari ini. Menarik selimut aku memejamkan mata.
Batinku mengatakan tentang hari ini belum selesai, tapi logika tak mau lagi bekerja karena lelah tak melihat waktu.
******
"Caramu berhasil." aku baru saja ingin mengunci pintu rumah kontrakan. Tepuk tangan terdengar dari samping, saat kulihat ternyata ibu mas Armada.
"Aku tidak punya urusan lagi dengan Ibu," kataku dengan tegas.
"Setelah membuat kekacauan kamu mau pergi begitu saja?"
Benar-benar wanita tua yang licik. Aku tidak ingin berurusan dengannya lagi. "Aw!" wanita gila, dia benar-benar cari masalah. Kutahan rasa sakit dengan sekuat tenaga aku melepaskan tangannya dari rambutku. Kulit kepala rasanya akan terkelupas. Tuhan, ini sakit.
Kini aku menarik rambutnya, dan menatap tajam tepat ke manik yang tak lagi berkilau.
"Bagaimana rasanya, sakit?" aku menarik sekuat tenaga memaksa hingga kepala wanita tua itu mendongak bahkan untuk bernapas-pun akan sulit.
"Jika Ibu pikir aku diam karena segan maka Ibu salah! Nuraniku menahannya, tapi tidak untuk kali ini." aku masih marah, salah waktu memancingku.
"Lepas."
Terbata satu kata itu tidak membuatku iba. Tak ada yang bisa memprediksi ketangkasannya seperti beberapa saat lalu, saat dia mendorongku ke dalam rumah.
Dia angkuh, tak ada sedikitpun sosok ibu dalam pribadinya. Muka manis dan melas hanya dipasang di depan mas Ar. Aku sudah menyadari kekejaman tersembunyi namun dari sirat wajah jelas terlihat saat ibu mas Ar menahan marah padaku. Instingku mulai awas saat berdekatan dengannya, bisa saja wanita itu melakukan hal yang lebih gila.
"Kamu akan menyesal."
Di depan mukanya aku tersenyum sinis. "Kenapa tidak memikirkan takdir Ibu saat ini?" sekali hentakan leher itu akan patah, karena kemurkaanku saat ini tak memandang status. Melindungi diri wajib hukumnya, terlebih dia yang pertama menyerang.
"Lepas."
Aku tidak peduli. Tanpa melepaskan tangan dari kepalanya, aku menarik paksa tas yang masih menggantung di bajunya. Dengan gigi aku membuka tas dan mengeluarkan isinya. Tidak lengah saat kulihat satu persatu benda yang jatuh ke lantai.
Mendorong ibu mas Ar dengan kuat, aku mengambil sebuah plastik kecil yang mencurigakan.
Keadaan ibu mas Ar memprihatinkan, tapi aku tidak peduli. "Apa ini?"
Disaat seperti itu dia masih tersenyum, tanpa memberikan sebuah jawaban. Bungkus plastik berisi bubuk berwarna hitam, aku tidak pernah melihatnya. Saat ingin membuka, aku melihat sekali lagi ke arahnya, aneh. Memasukkan bungkusan itu ke dalam saku celana, aku berkata padanya. "Aku akan mencari tahu." entahlah, ada harap besar dalam hatiku dan seketika raut itu berubah.
"Seperti yang Ibu katakan, antara kita belum selesai."
"Kamu tidak akan memiliki Armada."
Sepertinya dia harus tahu. "Aku sudah melayangkan gugatan. Yang kukatakan tadi adalah tentang hari ini." kulihat baik-baik rautnya.
"Hidupmu tidak akan tenang!" dengan suara parau dia mengancam.
"Ibu masih ingin hidup kan?" setidaknya hari ini, karena aku tidak akan menjamin hari esok. Bungkusan yang kutemukan tadi seperti sebuah kemenangan.
"Kamu akan membayar semuanya wanita tidak tahu untung!"
Dia tidak mau pergi, apakah aku harus menguncinya di rumah kontrakan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku selingkuh punya alasan Mas
Romance"Ibu terus yang kamu pikirin Mas!" "Kamu tidak kekurangan apapun kan?" "Aku menyerahkan posisi itu untukmu karena aku tahu Mas yang wajib mencari nafkah!" Mas Armada menatap tajam ke arahku. "Ini pertama kali ibu minta bantuan, Dis."