8

6.9K 896 42
                                    

"Kenapa? Mas mau membelanya?" aku tidak perlu suudzon karena cukup mengenal laki-laki. Delapan tahun berumah tangga, bukankah kami sudah tahu pribadi masing-masing? Tidak pernah ada masalah internal lainnya, hanya orang tua dan adik mas Ar.

"Kamu lebih muda, tidak bisakah menahan diri?"

"Mas tidak mau tahu yang sebenarnya." aku menarik napas, di hadapan orang tua dan adiknya, untuk kedua kali aku meminta dengan tegas. "Bawakan aku surat cerai!"

"Tidak ada yang bercerai, Gendis!" mas Ar membentakku. "Dewasa sedikit. Kita menikah, bukan pacaran. Jika sedikit saja kamu membuka diri tidak ada masalah."

Merampas kunci mobil dari tangannya, aku mengatakan dengan jelas agar ibu dan adiknya yang tidak tahu diri itu tahu siapa kebenarannya. "Katakan pada Ibu dan adikmu Mas, selama ini siapa yang memberimu pekerjaan. Katakan dengan jujur."

"Cukup Gendis. Kita pulang dan bicarakan di rumah."

"Aku mau Mas mengatakan yang sebenarnya."

"Kamu memerintah suamimu?" ibu mas Ar menatap tajam ke arahku. 

"Mas Ar mendapatkan pekerjaan itu dariku. Kalian mengerti?" tidak sampai di situ, aku menambahkan. "Mobil yang kalian tumpangi setiap ada keperluan itu adalah mobilku, paham?"

Tak perlu kulihat seperti apa wajah mas Ar. "Semua isi rumah kontrakan adalah hasil keringatku sendiri, bukan dari anak Ibu. Karena gajinya setiap bulan ibu poroti, tidak ada sisa untukku membeli barang-barang itu." aku belum puas melihat wajah murka ibu mas Ar. "Tanah yang saat ini sedang dibangun sebuah rumah, bukan mas Ar yang beli, itu adalah warisan dari almarhum orang tuaku." masih banyak lagi dan akan kukatakan satu persatu. "Jadi sudah tahu, uang siapa yang ibu pakai selama ini?"

Kini kulihat wajah adik iparku. "Motor yang sering kamu gunakan ke kampus, aku tarik."

"Enak saja! Mas ngomong dong," rengek Yeni. Aku tersenyum sinis, kalau tidak ada mas Ar bisa saja wanita itu menjambak rambutku. 

"Mas Ar memakai duitku. Statusnya hutang, dan sampai saat ini belum dibayar." aku ingin menjelaskan satu persatu.

"Kita pulang!"

Aku menepis tangan mas Ar. "Aku belum selesai."

"Di depan putra Ibu, aku mengatakan dengan jujur." delapan tahun rasanya sudah sangat cukup merasakan kesakitan karena campur tangan keluarga mas Ar. 

"Kamu tidak mendengarkanku, Gendis?"

"Maaf. Aku ingin menyelesaikan semuanya hari ini. Sakit setiap saat Mas diam dan masa bodo dengan kecewaku, sedih tahu enggak punya suami seperti Mas? Aku masih muda, tapi pikiranku sudah tua gara-gara keluarga Mas!"

"Kamu saja yang tidak tahu untung!"

"Jaga mulutmu Yeni!" mas Ar memarahi adiknya. Rautnya sedikit terkejut. Biar kutebak mas Ar tidak tahu betapa kurang ajar adiknya itu.

"Mas lihat itu?" aku menunjuk ceceran pecahan piring. "Siapa yang mengizinkan Mas memberikan piring itu untuk Ibu?" 

Mas Ar tidak menjawab. Namun aku tahu, dia marah.

"Aku datang baik-baik. Tapi mas Lihat hasilnya?"

"Kamu memaki Ibu, kamu bilang Ibu iblis!" 

Mas Ar menarik tanganku dan aku terseret beberapa langkah namun keinginan mas Ar tidak berhasil. Aku belum ingin pulang. 

"Salah? Adakah Ibu yang memfitnah menantu? Belum lagi campur tangannya agar anak dan menantu berpisah, Ibu lupa bahwa anak laki-laki Ibu sudah memiliki anak yang tak pernah Ibu anggap!"

"Lancar mulutmu ya?"

"Aku belajar dari Ibu," jawabku dan membuat ibu mas Ar kalap mengambil sapu di sampingnya hendak melemparkanku namun ditahan oleh Yeni. "Hanya dengan mulut, Ibu bisa menggoncang rumah tangga kami, balasanku belum setimpal Bu."

Napas ibu mertua tersengal. Apakah sebentar lagi akan ada adegan pingsan?

"Aku terlambat memahami kebencian Ibu, saat sadar mungkin terlambat tapi aku tidak akan diam." karena sejatinya kebahagiaanku ada di tanganku sendiri.

"Mas diam saja? Lihat bagaimana dia melawan tidakkah Mas sakit hati padanya?"

Aku tidak menunggu jawaban mas Ar untuk tanya adiknya. "Aku melawan karena diserang. Kalian luar biasa memang." tahu kebusukan keluarga mas Ar aku tidak akan diam lagi. "Sudah cukup kalian mengemis, sekarang buka mata agar bisa melihat hidup yang sesungguhnya.  Hidup kok seperti benalu."

Kali ini lemparan sapu dari tangan ibu mertua mengenai tepat di dahiku. Pusing? Sedikit. Aku masih sanggup bicara. Tapi sayangnya mas Ar tidak memberi kesempatan lagi dan menarikku keluar.

"Kamu sudah gila?"

"Keluar." aku bisa menyetir sendiri, siapa yang menyuruhnya masuk ke mobilku?

"Sini kuncinya."

"Mas sudah menarikku ke sini sekarang keluar dan kembali pada ibumu."

Mas Ar ingin mengambil kunci mobil, tapi aku mengelak dan memaki laki-laki itu. "Mas masih punya harga diri?" kali ini aku bertanya dengan serius. "Tidak ada lagi keinginanku hidup bersamamu, tidakkah Mas mengerti?"

"Lebih baik diam saat emosi. Kamu terlalu banyak bicara."

Lagi, aku berhasil mengelak saat mas Ar ingin mengambil kunci. "Yang aku katakan semua fakta. Kenapa? Mas marah karena kata-kataku menyinggung perasaan ibumu?"

"Aku bilang diam dan bawa kemari kunci mobil, Gendis!"

"Siapa yang mau pulang bersama?" bukankah sudah jelas kukatakan keinginanku? "Aku akan pulang, tapi ke rumah ibuku. Bukan ke rumah kontrakan."

Rasanya sudah cukup menimbang rasa, karena tak ada akhir jika belenggu mertua masih mengikat kuat. sabar dan rela dua hal yang tak bisa kupertahankan. "Kita akan bercerai!"

Baca di KBMapp juga dear....

Aku selingkuh punya alasan MasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang