1

17.3K 900 45
                                    

"Ibu terus yang kamu pikirin Mas!"

"Kamu tidak kekurangan apapun kan?"

"Aku menyerahkan posisi itu untukmu karena aku tahu Mas yang wajib mencari nafkah!"

Mas Armada menatap tajam ke arahku. "Ini pertama kali ibu minta bantuan, Dis."

"Kesekian kali Mas!" aku murka. "Ini yang paling banyak setelah bulan kemarin sepuluh juta."

"Sepuluh juta itu uang bonus kantor, kamu juga dapat kan?"

Jadi dia mau menyamakanku dengan ibunya? "Mas ngasih aku uang belanja, bukan bonus! Dan aku pake untuk kebutuhan rumah, seribu perak-pun enggak tersisa untuk keperluanku!"

"Kamu menghitung rezeki tapi tidak bisa mensyukurinya?"

Apa? "Bukan kamu saja yang anaknya Mas! Mas Deri, Mas Iyan. Mereka juga wajib. Sementara Mas lupa istrimu juga butuh uang untuk keperluan. Tapi di kepala Mas ibu terus. Belum lagi Yeni, bisa gila aku Mas!" tukang rumah saja aku harus pontang panting nyambi di olshop lah dia enggak mikir sama sekali.

"Ini terakhir. Bulan depan kita atur keuangan lagi."

Kulihat mas Armada pusing, kemarahannya sedikit mereda.

"Kalau masih hidup Mas. Sementara kita sedang bangun rumah, belum lagi kebutuhan. Uang segitu memang banyak tapi enggak akan kelihatan kalau Mas tidak pandai mengurusnya."

"Sekarang tidak bisa Dis. Ibu perlu uang. Yeni sudah bolos kuliah satu minggu."

Jadi lima belas juta ini untuk Yeni? "Hubungan Yeni bolos kuliah dengan Mas apa?" kami juga membantu uang kuliah Yeni, tapi tidak pernah menunggak, jadi apa maksud mas Ar?

"Enggak ada. Biar ibu tidak kepikiran, Dis. Aku berangkat."

Sepeninggal mas Ar, aku menangis. Bulan ini mas Ar mendapatkan bonus delapan belas juta, lima belas juta dikasih untuk ibunya sedang aku diberikan dua juta dan aku harus memutar otak menggunakan uang dua juta itu. Gajinya baru cair lusa dan itupun nanti aku tidak tahu akan digunakan ke mana.

Posisinya sekarang harusnya milikku, tapi karena berpikir aku seorang istri maka kuberikan padanya karena kami sama-sama lulusan sarjana ekonomi. Kinerja mas Ar bagus dan dengan cepat dia mendapat posisi penting di kantor itu. Namun ada yang aneh, sejak lima tahun bekerja gajinya lumayan tapi tidak ada perkembangan. Kami membangun rumah di atas tanah warisan almarhum orang tuaku dan sudah tiga tahun bangunan itu tidak rampung.

******
Malas saat mas Ar mengajakku ke rumah ibu. Setiap hari jumat komplek perumahan mertuaku mengadakan pengajian.

"Bawa Keysa aja. Aku malas ke sana."

"Setidaknya enggak ada aku, kamu bisa bantu-bantu di sana Dis."

"Aku lagi malas, Mas."

"Tukang juga enggak masuk hari ini, Dis. Kamu bisa ke sana, kasihan ibu."

Sampai di sana aku juga enggak di open. Kadang dianggap lalat yang menganggu.

"Jam empat Mas jemput."

Mulailah aku menghitung. Jam 10, 11,12,13,14,15,16 bisa kering aku di sana.

"Aku pergi nanti jam dua."

"Kamu anggota wirid?"

"Mas enggak tahu aja ya, ada atau tidaknya aku di sana enggak ngaruh. Yang ada jadi kue basi aku di sana."

"Kamu aja yang enggak pandai ngambil hati ibu."

Aku tidak menjawab kali ini. Gimana mau mengambil hatinya. Setiap aku ke sana yang dibicarakan si Yeni terus. Kadang juga nyindir, minta anaknya kuliah yang benar dan dapat pekerjaan yang layak agar bisa bantu suami. Pokoknya ada aja yang diomongin dan bikin aku panas.

"Aku biasa aja kalau berkunjung ke rumah kakakmu."

"Bedalah. Mba Lea baik, tahu tata krama."

"Kamu yang beda, Dis. Ayo siap-siap. Aku antar."

"Jam dua nanti." aku bersikeras. Malas banget pagi-pagi suasana hati udah jelek.

"Nanti aku telepon ibu, kabarin kamu enggak bisa berangkat pagi."

"Enggak usah." lagian ibu enggak akan nanya. "Udah telat, Mas berangkat dulu."

Usai mas Ar pergi, baru aku mencari cara agar bisa mengelak dari perintah mas Ar. Toh ibu enggak bakalan peduli, karena aku tahu beliau tidak pernah menyukaiku.

Saat lagi beberes sebuah pesan masuk. Dari mas Ar, mengatakan ibu memintaku membawa piring hias yang baru kubeli bulan kemarin. Dari mana ibu tahu aku beli piring? Kubalas pesan mas Ar.

Kenapa enggak minta tetangga aja, malah harus bawa dari sini.

Aku tidak menunggu balasan mas Ar dan melanjutkan beberes. Ada-ada saja. Bukan pakai terus piring di rumah, harus piring baru milikku?

"Papa, Ma." Keysa yang hari ini libur berlari ke arahku sambil membawa ponselnya.

"Bilang Mama di kamar mandi." aku berbisik di telinga Keysa dan bergegas pergi dari sana. Pasti mas Ar telepon karena balasan pesan dariku.

Aku membelikan barang sedikit demi sedikit. Nanti pas pindahan, udah ada jika mau dipakai. Lagian aku beli hasil ngolshop bukan semata dari gaji mas Ar.

Tepat jam dua belas mas Ar pulang menjemputku. "Belum siapan?"

"Baru jam dua belas."

"Aku pulang cepat karena mau temanin kamu. Siap-siap dulu. Keysa mana?"

"Sekarang?" tanyaku.

"Iya Gendis. Aku jumatan di sana."

Mau tidak mau aku masuk ke kamar untuk bersiap. Sekalian kusiapkan baju Keysa. Kesal, tapi tidak bisa mengelak untuk pergi.

"Ini kan?"

Mataku mengerjap saat melihat mas Ar mengeluarkan piring dari lemari. Langsung lututku lemas. "Harus itu ya Mas? Banyak kok piring lain."

"Ibu maunya yang ini, Dis." mas Ar mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto yang sama dengan piringku. Bukan hanya piring, lemari pun sama. Kapan ibu mengambil gambar itu?

Dalam perjalanan, aku tidak bicara. Hanya Keysa yang sesekali bertanya pada papanya. Suasana dimobil dihidupkan dengan suara radio. Karena masuk waktu jumat mas Ar sholat di mesjid sebelum masuk komplek, aku dan Keysa menunggu di mobil.

"Nginap ya Ma?"

"Enggaklah," sahutku cepat. Nginap di sana sama aja puasa satu tahun. Enggak bakal ditawarin makan, mau ambil ya gengsi.

"Key enggak betah lama-lama."

"Habis acara kita langsung pulang." aku berjanji. Bukan hanya Keysa, aku juga enggak betah.

Selesai jumat kami melanjutkan perjalanan, enggak jauh lagi. Sepuluh menit sudah sampai.

Belum ramai, karena acara jam tiga. Hanya ada beberapa orang tetangga di depan.

"Bawa piringnya Ar?"

Kami baru saja tiba, bukannya aku ataupun Keysa yang disapa.

"Ada Bu. Aku turunin dulu." mas Ar tersenyum pada ibunya dan aku gondok di belakangnya. Karena enggak di suruh masuk, terpaksa aku menunggu mas Ar selesai mengeluarkan piring dan masuk bersamanya.

Duduk bagaikan tamu tak diundang, aku melihat ibu-ibu komplek mulai datang. Mereka menyapaku, miris memang. Disaat yang punya rumah tidak menganggap keberadaanku, orang lain melihat kami.

"Mas Ar yang beli. Bagus kan? Limited katanya. Kalau mau harus pesan dulu, nunggunya juga lama."

Aku menoleh ke samping melihat Yeni bicara dengan dua orang temannya memamerkan ponsel dengan tiga kamera di belakang.

Jadi duit lima belas juta untuk beli iPhone adiknya?

Aku selingkuh punya alasan MasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang