"Kamu tidak akan datang?"
Aku mengangguk. "Jika bukan aku, maka ibu-lah yang tidak bisa menahan diri." kami pasti akan bertengkar lagi. Lebih baik biar hukum yang bicara. Sekelas ibu mas Ar sulit didekati, mungkin polisi bisa melakukan pendekatan dengan beliau karena berkas tuntutanku telah diterima.
Dari mas Ar aku tahu, ibunya dijemput oleh polisi tadi malam, dan pagi ini mas Ar akan berkunjung.
"Pergilah. Aku tidak marah." aku berkata jujur. "Kamu perlu tahu keadaan ibu." sementara aku tidak penasaran sama sekali.
Setelah kejadian di rumah kontrakan saat aku mengambil pakaian, tidak pernah lagi bertemu beliau. Begitu tahu benda yang ada dalam bungkusan itu adalah racun, aku segera membuat laporan ke kantor polisi.
"Gila istrimu Mas! Heran aku masih saja betah kamu!"
Satu lagi parasit keluarga mas Ar datang buat keributan.
"Noh ibu ditangkap gegara dia, melek Mas!"
Pantang dipancing, aku menghadang Yeni. "Masuk ke rumah orang kasih salam, bukan asal nyelonong teriak-teriak lagi."
"Heh sundal!"
Aku ingin menampar wanita itu. Kenapa mulutnya sekasar itu? "Jaga mulutku, Yeni!" mas Ar memarahinya. "Ada apa kamu ke sini?"
"Mau kumaki wanita gila itu! Bisanya memfitnah ihu."
"Mas mau ke kantor polisi, kita akan tahu kebenarannya."
"Jadi Mas percaya sama wanita itu?!"
"Kamu pikir aku sedang bikin sinetron? Oy, ngaca!" aku balas meneriakinya. "Yang sudah masuk ibu, kamu mau nyusul?"
Yeni ingin menyerangku namun ditahan mas Ar. Dengan sekuat tenaga mas Ar menyeret Yeni keluar dan memasukkannya dalam mobil lantas pergi. Keluarga sinting.
Masuk ke kamar, aku mengambil dompet dan kunci mobil. Aku mau belanja sekalian jemput Keysa nanti. Pagi-pagi mood sudah jelek.
Syukur, biang besar sudah ditangkap semalam. Kuharap ibu menikmati hasil perbuatannya.
Tega? Tidak. Seandainya hanya makian aku masih sanggup membalas. Tapi ini sudah masuk kejahatan. Tidak kebayang jika aku mati setelah diracuni. Na'idzubillaahi mindzaalik. Belum membayangkan sudah ngeri.
"Gendis!"
Mba Weni. Aku melihat mba Weni saat turun dari mobil. "Sendiri?"
"Iya Mba."
"Ke sana yuk."
Aku melihat arah telunjuk mba Weni. Warung bu Sapri yang kebetulan tutup hari ini. "Tumben nih, ke mana bu Sapri?" tanyaku heran.
"Ngurus sidang cerai Meta, Dis."
Apa? "Aku enggak tahu."
Mba Weni tidak melanjutkan lagi. Tapi karena penasaran aku bertanya lagi. "Sepertinya adem saja mereka, Mba."
"Kelihatannya sih iya. Tapi aku dengar langsung dari bu Sapri kemarin sore. Makanya tahu."
Oh. Belum satu tahun mereka menikah dan sekarang sudah cerai. Ya sudahlah. Aku juga tidak suka menggunjing, asal sudah tahu saja ya sudah cukup. Tidak tenang juga kalau harus tahu masalah orang sampai ke intinya.
"Tidak ada rencana pindah sekolah kan?"
"Tidaklah Mba. Toh rumahku yang lagi dibangun juga enggak jauh dari sini."
Mba Weni tersenyum. "Mana tahu kan. Kasihan juga sih kalau pindah. Sulit buat anak kita adaptasi."
Aku setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku selingkuh punya alasan Mas
Romance"Ibu terus yang kamu pikirin Mas!" "Kamu tidak kekurangan apapun kan?" "Aku menyerahkan posisi itu untukmu karena aku tahu Mas yang wajib mencari nafkah!" Mas Armada menatap tajam ke arahku. "Ini pertama kali ibu minta bantuan, Dis."