"Puas kamu lihat ibu di penjara?"
"Tentu," jawabku jujur. "Itu balasan yang setimpal". Berkas ibu sudah dilimpahkan ke kejaksaan dan sedang menunggu sidang pertama. Selama di polres, aku tidak menjenguk tidak juga menanyakan keadaannya.
Mas Ar juga tidak pernah menyinggung nama ibu sejak aku menegurnya.
"Tak ada sedikitpun nuranimu?"
"Kalian yang tidak bisa melihatnya, sekarang baru bertanya?" kenapa tidak tunggu saja ketukan palu dari hakim? Lagi pula aku tidak mempersulit, benar-benar melimpahkan dan percaya jika hakim akan menghukum sesuai perbuatannya.
"Kamu tahu, tanpa doa ibu mas Ar tidak akan bahagia?"
"Selama ini kamu lihat kami bahagia?" bahkan dia tidak tahu jika perbuatan mereka sudah menghancurkan rumah tangga kami. Sampai detik ini, komunikasi kami tak sebiasa dulu. Kadang saat mas Ar bicara aku tidak terlalu fokus apalagi ketika dirinya pulang, lelahnya memutuskan komunikasi.
"Bagaimanapun itu ibu mertuamu!" Yeni berteriak. Sepertinya wanita itu cukup frustrasi dengan keadaan saat ini.
"Ibu tidak pernah mengakuiku,"kataku dengan tegas. "Bilang saja kalau kamu mau mengemis." tidak segan saat aku mengatakannya. "Maaf, aku tidak bisa menarik tuntutan." saat akan menutup pintu rumah, Yeni menghadangnya.
"Aku tidak mengemis! Cukup kamu tahu saja, berani menyakiti ibu sama saja kamu cari perkara!"
"Kamu mengancamku?" tanyaku sinis. "Kenapa tidak belajar dari masalah ibumu? Mau nyusul juga?"
"Benar kau guna-guna mas Ar, bisa tahan dengan dengan wanita sepertimu!"
Cari masalah ini anak. "Kamu datang ke rumah orang buat keributan, tidak tahu adab!" aku menutup pintu tak peduli dia berteriak memakiku. Seandainya tak kutemukan benda itu mungkin tak akan ada kejadian ini. Racun dan senyum mengerikan ibu tak bisa mengundurkan niatku.
Masuk ke dalam rumah sayup masih kudengar makian Yeni. Dia memang tidak tahu malu. Meski jarak rumahku dengan tetangga tidak begitu dekat, teriakannya pasti bisa didengar oleh mereka. Bukan kali ini saja, beberapa hari yang lalu mereka juga mendengar Yeni menangis di teras mengadu pada mas Ar jika ia malu pada teman-temannya dan tidak mau lagi melanjutkan kuliah.
Yang terjadi hari ini adalah akibat dari kelakuan ibunya. Seburuk-buruknya sikapku tidak pernah menyakiti ibu, namun kali ini maaf, aku tidak bisa melepaskannya.
******
Berapa lama aku tidak melihat kedua abang mas AR? Malam ini aku tidak mengundang mereka karena memang tidak ada acara apapun di rumah. Mas Iyan dan mas Deri datang tanpa membawa istri mereka.
Basa-basi kulewatkan dengan baik, dan aku melihat maksud dari basa-basi mereka. Mas Ar yang bertanya alasan kedatangan kedua kakaknya.
"Aku yang mengusulkan Ar. Ibu sudah tua, coba kalian pertimbangkan." mas Iyan memberi jawaban yang logis.
"Itu di luar kuasaku." mas Ar menanggapi. "Mas tahu sekarang aku sedang merintis di toko." alasan mas Ar sama logis dengan keadaan ibu. Aku menunggu, sebesar apa pengorbanan mereka tanpa menyentuh perasaanku. "Ibu terbukti bersalah, sebagai anak juga aku tidak sanggup melihat ibu dipenjara."
"Aku akan menjamin, setelah keluar ibu tidak akan mengganggu Gendis."
Mendengar jawaban yang cukup percaya diri, mulutku tidak tahan untuk tidak bertanya. "Siapa Mas yang bisa menjamin sedang suamiku sendiri tidak bisa menjaga keselamatanku?"
"Kami tahu kamu masih sakit hati, tapi ibu sudah tua."
Geram juga mendengar jawaban mereka. "Kenapa tidak Mas tanyakan pada mba Ros juga mba Ola, bagaimana jika mereka yang berada di posisiku apa yang akan mereka lakukan?" aku belum selesai. "Mas tahu rasanya dibenci? Tahu rasa diabaikan, padahal aku lah satu-satunya menantu yang perhatian pada ibu?" enak saja datang meminta aku mundur dan membiarkan ibu keluar tanpa menikmati hukumannya.
"Kamu sedang emosi, kami maklum."
Aku yang tidak bisa memaklumi alasan kedatangan mereka. "Ke mana Mas saat ibu butuh duit? Ke mana Mas saat ibu selalu kepepet dan datang pada kami? Kalian sibuk dengan keluarga kalian, abai pada ibu juga tidak mau tahu jika mas Ar juga punya keluarga!"
Menarik napas aku melanjutkan. "Kalian tahu? Sakit saat ibu menyiksaku dengan tatapan hina, kalian pikir aku tidak takut? Bahkan suamiku ada di sana tapi aku merasa tidak terlindungi." sejelas ini kata-kataku, masihkah mereka kurang paham? "Aku menikah bukan untuk menyakiti diri, tapi yang kuterima? Bahkan istri-istri kalian tidak pernah menanyakan keadaan ibu di saat aku dan mas Ar mati-matian merawat ibu!" aku ingat kebaikan bukan untuk dibalas. "Mas Ar menikahiku hanya membawa mahar, tapi menantu tidak tahu diri di mata ibu kalian itu tidak dihargai."
Dimuliakan mertua, aku tidak gila pujian. Cukup hargai aku sebagai istri dan ibu yang melahirkan cucunya.
"Kalian datang karena nurani atau nafsu?" aku bertanya dengan serius. "Kalian malu ibu dipenjara?" wajah keduanya kuperhatikan dengan baik. Cukup mengecewakan melihat mas Iyan dan mas Deri terdiam.
"Gara-gara ibu, aku dan mas Ar tak pernah harmonis." aku tidak menangis. Lukaku belum kering, tapi karena dua lelaki itu harus tahu sikap asli ibu mereka.
"Setiap bulan ibu datang meminta uang padahal belanja bulanan sudah kami berikan, tapi ada saja kepentingan dan uang bulanan itu tidak cukup belum lagi Yeni, adik kalian."
"Setelah ini tidak akan ada lagi kejadian itu," kata mas Iyan.
Aku tidak percaya. Bukan satu bulan, tapi delapan tahun. "Mas Ar menyembunyikan dariku, memberikan diam-diam, dan ujungnya aku yang didesak. Mas pikir enak?"
"Kalian sudah memiliki rumah, sedang kami?" raut kecewaku, tak bisakah mereka melihatnya? "Rumah itu tidak siap-siap, karena hanya mas Ar yang menanggung biaya hidup ibu kalian yang luar biasa. Satu hal lagi. "Ibu menggadaikan kebahagiaan kami, dan mohon maaf jika aku masih bertahan di samping mas Ar, itu tidak lebih dari uji coba." saat mengatakannya, aku tidak melihat wajah papa Keysa.
"Apa lagi yang ingin kalian tahu?" aku belum lelah mengatakan sifat asli wanita yang dipanggil ibu oleh ketiga lelaki itu.
"Kalian bukan tidak tahu, hanya tidak mau tahu karena takut keluarga kecil kalian terganggu. Kalian menutup mata dan saat masalah sudah berlarut baru mencari solusi, maaf aku tidak setuju!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku selingkuh punya alasan Mas
Romance"Ibu terus yang kamu pikirin Mas!" "Kamu tidak kekurangan apapun kan?" "Aku menyerahkan posisi itu untukmu karena aku tahu Mas yang wajib mencari nafkah!" Mas Armada menatap tajam ke arahku. "Ini pertama kali ibu minta bantuan, Dis."