18. the truth

14.4K 1.7K 142
                                    

"I know. kenapa? Udah cape main perannya?kenapa gak lanjut pura pura aja? Gue masih mau ngelihat akting bodoh lo"

Tenggorokan Binar kering rasanya, apalagi dadanya yang sudah terasa sangat sesak. Dia sungguh merasakan sakit ketika mendengar respon Arbe. Entahlah, dirinya juga tak tau apakah selama ini Arbe hanya berpura pura atau tidak.

Tak mau kalah, Binar mengangkat dagunya angkuh, "Sama, gue juga sebenernya belum puas ngeliat harapan tolol di mata lo. Binar udah gak ada, dan lo tau itu. Kenapa masih berharap hm? " Ingin rasanya Binar menangis. Tapi apa daya egonya tak membiarkan dirinya melakukan itu.

"Dimana Binar? "

Gadis itu menoleh dan memusatkan perhatian pada Arbe sepenuhnya, "sayanggg, Binar udah pergi sedari awal. Kenapa masih tanya?masih berharap gue yang di depan lo ini beneran binar? " Jawab Milen dengan senyum manis nya.

Milen menghembuskan napas pelan lalu berdiri dari duduknya. "Yauda lah ya, lo juga udah tau. Gak usah repot repot benci gue, toh bentar lagi juga udah selesai. " Kata Milen seraya menepuk pelan pantatnya, bermaksud membersihkan debu yang menempel pada celananya.

"Gue gak peduli mau lo Milen or Binar, tapi gue tetep gak suka orang asi-"

"Milenia Syarla Husein. Gue punya nama. " Potong Milen. Dia tak terima ketika dirinya disebut orang asing. "Ck, udahlah gue mau pulang" Lanjutnya sebelum loncat dari batu besar itu dan berjalan pergi meninggalkan Arbe.

Baru beberapa langkah dari sana, ponselnya berdering menandakan panggilan masuk dari orang yang baru saja bersama dirinya. Padahal tempatnya juga tak jauh dari keberadaannya. Walau begitu Milen mengangkat telpon itu.

"Gue yang ajak lo kesini, Lo pulang juga tetep sama gue. Gak ada penolakan" Suara Arbe terdengar. Lelaki itu berdiri di atas batu besar dengan pandangan mengarah pada Milen.

Milen berbalik kembali dan menatap balik Arbe dengan ponsel yang berada di telinganya "Gue udah besar kali, bisa pulang sendiri." Bantah Milen.

"Udah dibilang kan? Gue lagi gak nerima penolakan. "

Ingin rasanya Milen berteriak di depan Arbe. Memandang wajahnya saja sudah sangat menyakitkan. Dia hanya ingin pergi dan melampiaskan semua air mata yang tengah ia tahan mati mati'an. Tapi Arbe seakan belum puas melihat dirinya menahan rasa sakit.

"Gue bisa pulang sendiri. "

"Gue gak sebodoh itu ninggalin cewe sendiri. " Belum sempat Milen kembali membantah, Arbe sudah memutuskan panggilan secara sepihak. Tak lama kemudian Arbe turun dan berjalan mendekati dirinya. Kini, cowo bertubuh tinggi itu sudah berada tepat di depannya dengan pandangan yang masih sedingin tadi.

Entah sekuat apapun gadis itu membantah, pada akhirnya dia akan tetap pulang bersama Arbe.

Jika tadi mobil diselimuti dengan keheningan. Maka sekarang tengah di selimuti hawa dingin. "Dari kapan tau? " Tanya Milen yang tak lagi bisa membendung rasa penasarannya.

"Dari awal" Jawaban yang singkat bukan? Tapi siapa sangka hal itu justru semakin membuat Milen sakit.

Milen menghembuskan napas kasar ketika dadanya terasa sangat sesak. Sebelum kembali bertanya, dia mengatur kursi mobil agar sedikit condong kebelakang. Merasa sudah pas, Milen menyenderkan badannya dan menutup matanya dengan satu lengan tangan nya.

"Kenapa gak bilang dari awal aja? "

"Udah gue bilang kan? Gue masih mau ngeliat gimana akting lo di depan gue. "

"Sialan. karena lo, gue jadi harus ngelakuin hal sia sia" Tidak ada lagi kata kata manis yang terlontar di bibir Milen. Dia sudah sangat berani berbicara kasar di depan Arbe.

"Jangan bicara kasar pake mulut Binar."

"Lebay. Gue juga tau kalo kelakukan Binar jelas lebih kasar dari ini" Cibir gadis itu.

Suasana kembali hening. Tak ada lagi yang mencoba mengatakan hal yang sebenarnya sangat mengganjal di hati mereka. Tapi lagi lagi, Milen lah yang akan memulai percakapan kembali. Dia sudah berjanji akan mengatakan segalanya hari ini.

"Semua kata kakak lo itu benar. Ini cuma dunia novel, dan gue bukan dari dunia ini" Milen menarik nafas kecil sebelum kembali melanjutkan, "entah sekeras apapun lo ngelak kalo ini dunia nyata, itu gak bakal pernah ngilangin fakta soal dunia ini. "

Tawa renyah terdengar dari Milen. "Lo cuma karakter fiksi yang hidupnya diatur sama author. Jelas beda sama gue yang bisa ngelakuin apapun yang gue mau di hidup gue" Bohong. Ini jelas bohong, seorang Milen tak pernah bisa melakukan apa yang dia mau.

"Dan sialnya, gue harus terjebak di dunia bangsat ini. " Bukan karena apa dia mengatakan ini. Milen harus masuk di dunia yang semakin membuatnya terlena dan enggan untuk pergi. Itu sedikit menyiksa dirinya lantaran Milen memang tidak di takdirkan berada di sini.

"Sekali lagi gue bilang, gak usah repot repot benci gue. Toh bentar lagi gue pergi " Lanjut Milen.

Suara hembusan napas berat kembali terdengar. Entah sudah berapa kali Milen melakukan hal ini. "and I'm sorry for this one too, I act with feelings." Bisik binar yang nyaris tidak terdengar oleh Arbe.

Tak ada sahutan, suasana kembali hening. Masih pada posisi yang sama, namun dengan keadaan yang lebih hancur. Entah sampai kapan Milen bisa menahan air matanya yang perlahan meleleh.

"Kalo lo pergi... Binar bakal balik kan? " Pertanyaan yang berbeda, tapi memiliki arti yang sama. Lelaki itu masih mengharapkan Binar kembali.

Mungkin itu terdengar seperti pertanyaan biasa. Tapi bagi Milen, itu terdengar seakan Arbe meminta dirinya pergi agar Binar kembali. "Enggak. Binar nggak akan pernah balik, lo salah kalo lo masih berharap Binar balik. "

"Kalo gitu, bisa lo aja yang pergi? "

Pertanyaan Arbe yang ini sedikit aneh untuk didengar. Milen bingung, Arbe meminta dirinya pergi dari hidup nya atau dari dunia ini? Milen kurang mengerti. "Sans, dari awal gue cuma singgah, tanpa lo suruh gue bakal pergi kali. "

Beruntung tak butuh lama untuk sampai di tempat tujuan. Kini mobil Arbe berada di halaman rumah Binar. Tidak seperti biasanya, Milen keluar dari mobil dengan menunduk tanpa mengatakan apapun. Dia terlihat tengah menyembunyikan sesuatu.

Sayangnya, hal yang disembunyikan oleh Milen telah diketahui Arbe. Lelaki itu tau bahwa apa yang dia katakan jelas sangat menyakitkan bahkan bisa di bilang jahat. Tapi bagaimana lagi? Dia kecewa, juga merasa sakit dengan fakta yang baru saja dia terima. Tapi kini, Arbe merasa jauh lebih sakit saat tau Binar tengah menahan isak tangis.

Rumah terlihat sepi, lampu juga banyak yang sudah dimatikan. Sepertinya mereka semua sudah tidur. Jika begini Milen tak perlu lagi membuat alasan tak masuk akal.

Dengan pelan kakinya berjalan naik ke lantai dua. Matanya sembab, dia sudah menangis sejak tadi, namun Milen mencoba menahan isak tangisnya.

Tak lagi dapat menahan air mata, dirinya berjalan cepat menuju kamar dan masuk kedalamnya, tidak lupa mengunci rapat kamarnya.

Disaat itulah, tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. "Gak mau lagi jadi Binar..." Bisik Milen sebelum membanting tubuhnya di atas tempat tidur.

"Dia minta aku pergi.... Apa Milen pergi sekarang aja ya?? Gak usah nunggu novel selesai" Ucapnya yang teredam oleh bantal karena wajahnya yang tertutup bantal.

Mungkin malam ini, menjadi malam yang panjang sekaligus malam penuh rasa putus asa di hatinya.

Entahlah, dia sendiri bingung besok dia akan menyambut hari seperti apa.

.
.
.
.
.

Eyyy yoww, haiiii
Jangan lupa vote ya-! Hehe
Maaf atas kesalahan kata atau penempatan kata yang mungkin mengganggu aktivitas baca.
Karena aku akan revisi ulang kalo cerita ini end.
Sekali lagi aku minta maaf ya :)

Oh iya, boleh dong follow authornya jika memang sudah nyaman :)

Sweet Antagonist✓ (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang