12.why?

20.4K 2K 40
                                    

"Iya, dari awal aku sama Reka emang gak ada apa apa nar. Cuma sebatas kontrak diatas kertas" Nara berucap sembari memainkan jari jarinya.

"Lah?? Berarti selama ini cuma sandiwara? ".

"I-iya"

"Bentar bentar, gue ngelag. Coba jelasin gimana kontrak nya, gue kagak bakal cepu"

"Aku sama Reka itu gak beneran pacaran. Reka mau hubungannya berlangsung sampai lulus dan gak bakal ketemu kamu lagi. selama itu juga reka yang bayarin semua uang pengobatan mama aku. . .tapi gak tau kenapa Reka malah gak nepatin janjinya buat bayarin pengobatan mama aku. . .sampe mama ku udah gabisa bertahan lagi" Nara menjelaskan secara terperinci dengan kepala menunduk. "Makanya kemarin aku batalin semua perjanjian yang cuma rugi di aku. " Lanjut Nara dengan badan yang bergetar. Sepertinya dia menangis.

Mata binar melebar kaget. Jelas ini sangat berbeda jauh, alurnya sudah sangat kacau dan itu berarti Binar tak lagi bisa hidup berpegangan dengan novel.

Karena tak tega, Binar berpindah tempat duduk tepat di samping Nara. Dia menepuk pelan punggung Nara. "Maaf ya, gue sering nyakitin lo tanpa tau gimana aslinya. Gue juga terlalu di butakan sama cinta tolol itu" Ucap binar, tak menunggu lama gadis itu memeluk Nara dengan erat. Tepat saat itu, tangis Nara pecah.

"Aku udah sendirian... Mama aku udah gak bisa di samping aku lagi nar. . . "

"Lo gak sendirian raa, ada temen temen lo kok. Gue yakin lo bisa ngelewatin ini semua"

"Tapi aku udah gak ada tempat tujuan. . ."

"Tempat tujuan lo itu masa depan lo sendiri. Kejar cita cita lo, gue yakin lo bisa dapet beasiswa"

Malam itu, binar menjadi orang asing pertama yang mau meminjamkan bahu nya untuk Nara. Entahlah, selama ini Nara selalu menganggap Binar adalah iblis berwujud malaikat. Tapi sekarang gadis itu benar benar menjadi malaikat untuknya.

Jam 08.10 binar baru pulang dari kafe. Gimana cara pulangnya? Ya ojol lah! Dia nyalain ponselnya bentar buat pesen ojol terus dimatiin lagi.

Ketika dia turun dari mobil ojolnya. Binar terkejut ketika melihat Arbe sedang menunggunya didepan pagar rumahnya dengan mata tajam. Dia juga masih menggunakan seragam sekolahnya.

Binar berjalan mendekati Arbe secara perlahan dengan kepala menunduk takut. Padahal dia masih menghadapi Arbe, belum ayah sama bundanya.

Arbe menatap tajam Binar yang sudah ada di depannya. "Kenapa gak bilang? " Suara arbe melantun dengan nada dingin.

"Sorry. . . " Binar semakin menunduk takut. Entahlah, tapi Arbe sekarang sangat menakutkan. Apalagi nanti ayahnya?

Hening. Arbe tak mengatakan apa apa dan hanya menatap Binar terus dengan pandangan yang sama seperti tadi. "Bisa gak sih jangan bikin orang khawatir?"

"I'm sorry. . ."

"Gue gak suka lo kek gini. Apa susah nya sih bilang?punya mulutkan?ngomong kalo ada apa apa. "

"..... "

Hembusan napas kasar terdengar dari cowo itu. Matanya yang tadi menatap tajam binar, kini melembut. Lalu tak lama gadis itu tersentak ketika pelukan tiba tiba datang dari Arbe.

"Gue takut lo pergi." Gumam Arbe tepat di telinga binar. Itu karena kepala Arbe yang berada diceruk leher Binar. Perlahan leher Binar terasa basah. Apa yang terjadi?? Mungkin Arbe menangis? Tapi apakah itu bisa terjadi?

"Kamu nangis?"

Tak ada jawaban. Yang ada pelukan itu semakin erat hingga membuat binar sesak. Ugh... Sejak kapan Arbe menjadi cute boy seperti ini?? Padahal dia pergi juga tak sampai satu hari penuh.

Tangan binar terangkat, lalu mengusap pelan rambut arbe. "Why are you crying?" Tanya binar sembari berusaha melihat wajah arbe. Tapi apa daya ketika arbe malah semakin menenggelamkan wajahnya." because I'm afraid you're gone" Jawab Arbe dengan suara khas seseorang yang baru menangis.

Binar tak menjawab. Ia tak bisa memastikan apa dia akan tetap disini? Mengingat dirinya tidak berasal dari dunia ini. Bisa saja bukan? Dia akan pergi di waktu yang sudah ditentukan oleh takdir.

Kamu tau apa yang dirasakan Arbe? Jelas dia marah tapi rasa takut untuk kehilangan Binar jauh lebih besar. Apalagi tadi sempat ada pertengkaran dengan sekolah lain. Selain itu, entah semarah atau se-kecewa apapun Arbe, lelaki itu tak akan pernah tega meninggikan suaranya.

"Eum, sorry. Beneran deh gak bakal ngulangin lagi"

"Lo sering ngomong gitu, tapi tetep aja bakal di ulang"

"Enggak kok, kali ini beneran gak bakal di ulang"

Arbe melepaskan pelukan dan beralih menatap Binar dalam, "gue juga gak bakal biarin lo ngelakuin hal yang sama kek gini. " Ia menutup matanya sejenak sembari bernafas lega. Kemudian matanya kembali terbuka dan menyorot datar seperti biasanya.

"Masuk, ditunggu yang lain."

"Kamu gak ikut masuk? " Arbe menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan binar. Ya, sedari tadi dia sudah mondar mandir rumah Binar hanya untuk memastikan keberadaan gadis itu.

"Sana masuk"

Binar mengangguk cepat sebelum berbalik pergi meninggalkan arbe sendiri. Sedangkan Arbe? Dia hanya tersenyum melihat tingkah Binar. "Good girl" Gumam dia.

Hari sudah menunjukkan tengah malam. Tapi Binar masih duduk di tempat favorit nya, balkon. Yaaah dia akan selalu menyempatkan waktu untuk melihat bintang di langit malam.

Omong omong, ayahnya tak mau bicara karena kelakuannya. Dan tadi dia hanya mendapat omelan dari bundanya dan Arjuna. Lebih baik jika ayahnya ikut mengomel dibanding diam saja seperti itu kan? Kalau begini Binar jadi merasa sangaaat bersalah.

Omong omong, binar penasaran tentang dunia ini. Tujuan dirinya datang apa? Untuk mengubah novel? Atau hanya menikmati dunia novel? Kalau di pikir pikir, jika dia punya waktu untuk datang, seharusnya dia juga punya waktu untuk pergi. Tapi kapan? Kapan dia akan pergi dari dunia ini? Apa dia tak bisa menetap saja? Dia nyaman dengan mereka semua.

Jika hanya ditakdirkan untuk datang dan pergi dalam waktu dekat. Bukankah itu seperti menyiksa dirinya?

Entahlah, Binar menjadi sangat pusing memikirkan hal itu. Dia berjalan masuk kedalam kamar lalu menutup pintu balkon.

Tapi ketika dia menuju tempat tidurnya, hidungnya mengeluarkan cairan kental. Tunggu? Dia sama sakali tak memiliki riwayat penyakit di dunia ini mau pun masa lalu. Jadi? Kenapa dia mimisan sebanyak ini?

Apa ini hanya karena kelelahan? Rasanya tak mungkin jika bisa sebanyak ini. Ini sangat banyak hingga... Bisa membuat dirinya jatuh tak sadarkan diri dilantai.

Tak ada yang tau bagaimana kondisi binar. Gadis itu bangun dengan banyak tisu disekitarnya. Tidak terkecuali baju nya yang sudah ternodai banyak darah.

Dia akan membuang baju nya? Jangan bodoh. Mana mungkin dia akan membuang sampah dengan tangannya sendiri? Itu hanya akan menambah kecurigaan. Di buang melalui balkon? Hei, orang yang berada di taman dekat balkon nya pasti akan melihatnya. Dibuang di toilet? Haha, dia tak ingin menahan perut sakit karena tersumbat.

Jadi.... Solusinya hanya menyimpannya di bawah kasur. Padahal itu darahnya sendiri, tapi binar merasa dia baru saja membunuh orang.

Tenang saja, dia akan membuang semuanya di waktu yang tepat. Jika tidak lupa.

"Apa gue harus periksa ke dokter ya? Tapi gimana kalo gue di santet? " Tanya binar pada dirinya sendiri di depan cermin.

"Tapi kan binar gak punya riwayat penyakit. Apa ini termasuk jalan buat gue kembali? Gimana pun juga gue harusnya udah mati" Lagi dan lagi binar berbicara pada dirinya di depan cermin.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
Note: kenapa tak di cuci?? Milen tak bisa dan tak punya pengalaman untuk itu. Jadi dia hanya akan menyimpannya sementara waktu dan membuangnya disaat rumah tak ada orang.
.
.
.
Eyyy yoww, haiiii
Jangan lupa vote ya-! Hehe :D
Maaf atas kesalahan kata atau penempatan kata yang mungkin mengganggu aktivitas baca.
Karena aku akan revisi ulang kalo cerita ini end.
Sekali lagi aku minta maaf ya :)

Oh iya, boleh dong follow authornya jika memang sudah nyaman :))

Sweet Antagonist✓ (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang