Yang Tak Terlihat (Bagian II)

2.1K 214 26
                                    


Desa Alas Rungkut, 1994

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Desa Alas Rungkut, 1994

Angin malam yang dingin memapar wajahku sewaktu dua roda motorku terpacu kencang. Di boncengan, Pamuji diam seribu kata, mengunci bibirnya dengan perasaan cemas yang menggila. Lewat tengah malam, kami menembus pekat untuk kembali ke Desa Alas Rungkut yang sunyi. Tak ada yang lebih menghantui perasaan kami berdua selain ketakutan akan kesaktian ilmu Cahyono, yang selain bisa membuat dirinya tak terlihat, tapi juga bisa mencelakai Rinto sampai seperti itu. Rencana untuk menunggui sahabat kami di RS malam itu kandas setelah mengetahui fakta mengerikan bahwa jumlah uang yang tertulis di sebelah nama Rinto pada buku catatan utang Cahyono bisa sama persis dengan besar biaya yang diberikan oleh orang yang menyerempet motornya. Narasi itu seolah disuarakan oleh Cahyono dari kegelapan, yang entah bagaimana caranya, seperti tengah membayar utangnya dengan ejekan. Ejekan berdarah.

Apakah ini hanya kebetulan? Akankah ini buah dari paranoia atas kungkungan ketakutan pada sosok Cahyono yang tak kasatmata?

Isi kepalaku mau pecah, dan kurasa Pamuji pun sama. Sama-sama memikirkan bagaimana caranya Cahyono bisa mengawasi kami dari kegelapan tanpa terlihat, lalu mengatur siasat jahat untuk mencelakai kami yang sudah bertindak kurang ajar di kediamannya beberapa malam silam. Jika dinalar, semua itu terkesan mengada-ngada, tapi dengan adanya bukti nyata dan dukungan informasi dari Mbah Mantri Nursalim, fakta bahwa Cahyono memiliki kesaktian yang mengerikan itu semakin tak terbantahkan. Ini jauh lebih mengerikan daripada hantu tak kasatmata. Ini manusia! Manusia tak berwujud yang memiliki kesaktian mengerikan.

Bangsat! Padahal Cahyono berada di posisi pengutang, tapi kenapa jadi kami-kami ini yang dihantui sekarang?!

"Aku nginep di rumahmu sajalah, Wan!" seru Pamuji begitu kemudi motorku berbelok ke gerbang gapura desa. Aku mengangguk setuju. Agaknya, lebih aman jika kami tidur berdua di sisa malam ini. Kalau sampai ada makhluk tak terlihat yang mengincar kami, akan kami ringkus bersama. Kami sikat bersama.

***

Pagi itu, aku sengaja datang terlambat jaga kios Bu Siti. Selain karena rasa kantuk masih menggelayut, aku merasa perlu memberitahukan hal yang terjadi dengan Rinto semalam kepada Mas Adi.

"Ah, cuma kebetulan paling," tukas lelaki itu singkat, menanggapi spekulasi-ku atas kesesuaian angka di buku catatan utang Cahyono dengan biaya ganti rugi yang diterima oleh orangtua Rinto. Kami berdiri berhadapan di atas lapangan voli. Lelaki itu sedang mulai menjemur gabah hasil panen sawah keluarga bersamaan dengan merangkaknya matahari yang hangat.

"Terlalu tepat untuk sebuah kebetulan, Mas" kilahku, sedikit kesal. "Lagipula, sekarang sudah jelas kalau Cahyono punya ajian Kinjeng Mas untuk membuat dirinya tidak kelihatan. Aku jamin dia menguasai ajian lain untuk mencelakai kita tanpa ketahuan."

Mas Adi mulai terlihat cemas. Kepalanya celingukan ke kanan dan ke kiri, waspada membayangkan sosok Cahyono berseliweran di desa Alas Rungkut tanpa terlihat.

Lewat Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang