Suara-suara dari Salemba

6.2K 401 21
                                    

"Terkadang mereka mencoba memberitahu kita bahwa mereka itu ada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Terkadang mereka mencoba memberitahu kita bahwa mereka itu ada. Cara mereka memberitahu pun berbeda-beda. Terkadang lewat rupa, terkadang lewat suara. Namun selalu, semua berujung hal yang mengerikan..."

Cerita ini pernah disiarkan di Radio Tunas Kelapa Kutoarjo, diceritakan langsung oleh orang yang mengalaminya sendiri pada tahun 1981.

---

Selaput katarak telah menyelubungi kedua mata Sumitro sejak usianya 8 tahun. Lewat satu dasawarsa lamanya ia hidup dalam kegelapan. Penyakit itu perlahan menyihirnya menjadi pribadi penyendiri. Ia sudah hampir lupa rasanya berkumpul bersama anak-anak di kampungnya, bercengkerama, tumbuh dewasa bersama. Sumitro bukan berasal dari keluarga mampu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, orangtuanya biasa pergi bertani ke sawah sebagai buruh. Dan dengan kondisi Sumitro yang nyaris buta, hasratnya untuk meringankan beban kedua orang tuanya pupus.

Pada suatu hari, ia mendapat rujukan dari puskesmas tempat ia biasa berobat untuk melakukan operasi kataraks di Jakarta. Operasi gratis itu merupakan bagian dari program pemerintah Presiden Soeharto. Ia pun berangkat ke ibukota ditemani sang paman menuju ke sebuah rumah sakit di daerah Salemba. Sesampainya di sana, dokter yang berperan menangani beliau memberitahu bahwa operasi akan berjalan dua kali dalam kurun satu minggu. Guna menjalani semuanya, Sumitro harus tinggal di bangsal rumah sakit itu. Namun, oleh keterbatasan biaya, pamannya terpaksa meninggalkan Sumitro sendirian di tempat itu dan akan kembali datang menjemputnya jika operasi sudah tuntas dijalankan.

Selasa malam, ketika hujan sedang deras-derasnya di luar, operasi pertama dilakukan. Sumitro sepenuhnya tak sadarkan diri. Ketika kesadarannya sepenuhnya kembali, ia mengalami linu pada kedua matanya, masih dalam kondisi tak bisa melihat. Berdasar penuturan dokter, operasi pertama berhasil. Rabu malamnya, ia harus menjalani operasi kedua.

Saat udara Kamis pagi menyusup ke seluruh ruangan rumah sakit yang sunyi, ia terjaga. Seorang suster memberitahu bahwa operasi kataraknya berhasil dengan baik. Namun, perban yang melekat di matanya baru akan dibuka setelah tiga hari. Ini berarti Sumitro masih harus bertahan dalam kondisi mata tertutup perban hingga datangnya hari itu.

Siang itu, ia sudah diperbolehkan beranjak dari kamar tidurnya untuk sekadar berjalan-jalan. Tawaran itu sempat ditolaknya. Ia khawatir jika ia nekat berjalan-jalan siang hari akan berhadapan dengan lalu lintas orang-orang di dalam rumah sakit. Tentu hal itu akan menyulitkannya. Dengan santun, ia memutuskan untuk beranjak dari tempat ia berbaring dan sekedar berjalan berkeliling rumah sakit jika malam nanti telah jatuh mengepung bangunan ini.

Sumitro yang telah terbiasa berjalan dengan mata tertutup tentunya tak banyak menemui kesulitan berjalan dalam kepekatan malam. Rute langkahnya ia hafalkan dalam hitungan langkah seiring kakinya menjelajah koridor sunyi itu. Ketika intuisinya menuntunnya ke tempat yang dirasa tenang, ia berhenti dan menyandarkan tubuhnya di sebuah bangku kayu. Suasana di tempat ia duduk sangat dingin dan sunyi. Perban tebal yang mengikat kepalanya sekali waktu terasa gatal dan mengganggu. Ia mereka-reka situasi di mana perban-perban itu akan lepas dan menggantinya dengan warna-warni dunia yang telah lama ia tinggalkan.

Lewat Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang