Di Kelokan Itu, Aku Melihatnya

5.9K 380 11
                                    

Setiap hal kecil akan luput dari perhatian kita mana kala kita telah terbiasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setiap hal kecil akan luput dari perhatian kita mana kala kita telah terbiasa. Dan diantara hal-hal kecil itu, selalu saja ada yang menyusup, dan membuat kita tersadar bahwa tak selayaknya kita mengabaikannya...

Panjer, 1997

Alwi rutin menghabiskan sore harinya dengan bermain voli. Setelah upayanya masuk ke sebuah perguruan tinggi negeri gagal, remaja 19 tahun itu tak punya banyak kegiatan selama hampir setahun belakangan. Tak ayal, jadwalnya lengang, terisi oleh rutinitas bersama anak-anak pengangguran lain di kampung. Bermain voli tiap senja hari jadi salah satu pilihan.

Kalau berangkat dari rumahnya, ia selalu mengikuti jalan setapak kecil di gang belakang, menjajakinya dengan berjalan kaki melewati lorong-lorong yang terbentuk dari tembok-tembok belakang pemukiman warga RT 3. Di ujung jalan itu, barulah langkahnya tersambung ke jalanan gelap yang terlindung naungan pohon bambu rindang. Ia berangkat menuju lapangan bola voli selepas waktu ashar dan baru kembali ke rumahnya saat matahari nyaris tenggelam.

Penerangan di sekitar permukiman rumah Alwi belum cukup merata. Kala malam tiba, pendar suram lampu bohlam kuning hadir menjadi penerang di tiap bilik rumah. Sedang orang-orang yang dianggap punya harta lebih sudah mampu membeli lampu neon panjang. Saat itu, Pak Wahyu, seorang purnawirawan tentara yang tinggal di rumah belakang memasang lampu neon yang posisinya terletak di sisi belakang rumah yang menghadap ke jalan setapak. Lampu itu dipasang setinggi dua meter dengan instalasi kayu yang menempel ke dinding, tepat di kelokan lorong.

Bagi Alwi, dengan dipasangnya lampu pijar itu, berarti jalan pulang dari lapangan voli menuju rumahnya akan lebih terang. Kelokan di sisi belakang rumah Pak Wahyu dan tembok sisi belakang rumah Pak Saiman memang terbilang gelap. Seringkali orang yang melewati kelokan itu cedera karena terantuk tembok akibat ketiadaan cahaya. Hanya saja, kendati lampu itu telah terpasang, masalah lain muncul.

Meski sakelar lampu sudah dipasangkan di dalam rumah Pak Wahyu, lampu belum mau menyala. Ia akan menyala jika tiang kayu penyangganya itu di senggol. Satu-satunya orang yang ditugasi untuk membantu menyalakan lampu dengan hentakan itu adalah Alwi. Upaya itu sudah menjadi rutinitas tiap kali dia kembali dari lapangan. Mana kala maghrib menjelang, saat langkah kaki dan dendang siulannya mulai terdengar bergema di lorong jalan setapak, biasanya akan disahut seruan dari balik tembok rumah Pak Wahyu.

"Wi, sudah di colok sakelar-nya!"

Seruan itu adalah kode bagi Alwi untuk menggetarkan tiang kayu yang menempel di dinding hingga lampu neonnya menyala.

"Inggeh, Pak!" Sahut Alwi sembari menghantamkan tanggannya pada kayu penyangga lampu. Seketika itu juga, lampu neon itu berpijar menerangi kelokan lorong.

Lewat Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang