Kumpulan Dongeng Pak Maman (Malam ke-1)

3K 214 45
                                    

Klaten, 1997

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Klaten, 1997

"Dulu, saya ini guru ngaji," katanya.

Lelaki itu berbicara dengan punggungnya sembari tetap sibuk menyiapkan mie godog favoritku. Di sebuah bangku panjang di dalam warung yang remang, aku diam menunggu pesananku, juga menunggu lanjutan dongeng misteri yang hendak dituturkan olehnya pada malam itu. Pak Maman, namanya. Pak Usman Manaf. Namun, kali ini agak sedikit berbeda. Biasanya beliau menceritakan kisah misteri hasil pengalaman teman-teman seperjuangannya di kampung halaman, kali ini beliau memulainya dengan mengungkap fakta yang cukup mencengangkan buatku.

"Setiap dua minggu sekali, di hari sabtu malam, pasti saya ditagih buat mendongeng oleh bocah-bocah santri yang saya ajar."

"Dongeng seram, Pak?" tanyaku.

"Awalnya ya, bukan. Dongeng nabi-nabi," jelasnya. "Tapi lama-kelamaan anak-anak itu butuh sesuatu yang baru."

Aku menebak lagi, tak sabar, "Dongeng seram Pak, akhirnya?"

"Soalnya ada satu murid yang nakal sekali. Anaknya preman pasar, tapi barakallah masih mau ngaji, meskipun ya... Cuma bikin ribut saja di masjid," celotehnya tanpa menggubrisku.

Pak Maman terlihat memasukkan bumbu dasar ke dalam wajan panas. Aroma harum makanan menguar dengan segera. "Karena kisah teladan Abu Jahal dan Fir'aun sudah tidak mempan buat menasihati anak itu, akhirnya saya putar otak dengan menceritakan dongeng hantu-hantu," pungkasnya sambil menumis.

"Dongeng nabi-nabi nggak mempan, hantu-hantu solusinya, he he he..." candaku.

Pak Maman menoleh dengan wajah datar. "Ini kisah nyata semua," balasnya kaku.

Aku pun bersiap mendengarkan. Lagi-lagi, lelaki yang kacamata tebalnya melorot itu bicara dengan punggungnya. Cerita pertama pun didongengkan...

----------------------------------

Sebuluh Bambu Hitam Pengantar Maut

Karyo dikenal sebagai seorang preman pasar desa Gumuk Watu. Mabuk dan berjudi adalah santapan hariannya. Sudah melekat semua sandangan buruk untuknya. Namun, satu kebaikan Karyo membuatnya tetap disayangi warga. Ia adalah sosok penurut dan serba bisa. Disuruh bikin pagar kebun tetangga, bisa. Membereskan genting bocor rumah Bu Lurah, sanggup. Bebersih halaman belakang rumah Kyai Murtolo, tuntas. Asalkan ada sedikit rupiah atau sebatang rokok, semua pekerjaan ia sanggupi.

Kecuali pada hari itu...

Tidak ada genting rumah warga yang bocor, tidak ada halaman belakang rumah yang perlu dibabat, dan tak ada pula kebun yang butuh dibuatkan pagar. Tidak ada pekerjaan yang bisa Karyo garap hari itu. Nahasnya, ia sedang butuh uang. Mulutnya terasa kecut, belum menghisap sebatang rokok pun seharian. Dan kerongkongannya sudah kehausan miras untuk ia tenggak sambil memasang taruhan di pasar nanti malam.

Muncul ide goblok untuk mencuri ayam Pak Kardiman dan menjualnya di desa sebelah, tapi ia tidak ingin bernasib sama dengan mendiang bapaknya yang mati dikeroyok warga dusun Kempul Wetan karena ketahuan mencuri ternak warga sana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lewat Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang