Istana di Balik Kabut (bagian 2)

5.4K 353 39
                                    

Bebunyian lenyap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bebunyian lenyap.

Kegelapan yang lengang menyambut kami. Kurungan kabut mengepung jalur batu di kaki Gunung Lawu dan bertambah pekat seiring dengan turunnya gerimis kecil. Sudah hampir satu jam lamanya. Perasaanku makin tak keruan. Degup jantung yang kian memburu sulit kujelaskan apakah ini karena terjalnya bebatuan besar yang kami tempuh atau karena sisa kengerian yang kudapat usai melihat sosok samar nenek keriput hamil yang berdiri di bawah lengkung pagar pemukiman pondok misterius tadi. Atau bisa jadi karena paduan keduanya. Yang pasti, aku ketakutan.

Adnan dan Benu terengah beberapa meter di belakang. Sebagai tiga anak remaja SMA yang baru saja menaklukkan Gunung Merbabu dan Sindoro, keangkuhan kami kala berniat menanjak sore tadi tunduk oleh rasa lelah yang teramat sangat. Belum pernah sebelumnya, aktivitas menanjak menjadi seberat ini. Curamnya jalur berbatu licin ini telah menghilangkan nuansa keasyikan menanjak yang selama ini kami jalani. Jujur, penanjakan kali ini benar-benar menguji ketangguhan.

"Ssst, sentermu jangan nyorot ke depan!" Desis Mas Ali kepada Benu yang tertatih di belakangku. Refleks, dia pun menurunkan arah senternya.

Dalam sepersekian detik sebelum cahaya itu berganti arah, dapat kulihat raut muka Benu dan Adnan memucat. Belum pernah kulihat mereka sepayah ini. Aku sangsi kepucatan itu buah beratnya medan yang kami jelajahi. Sepertinya ada hal lain yang memicunya.

Apakah mereka juga sempat melihat nenek hamil itu?!

Penasaran, kupelankan laju langkahku sampai sejajar dengan mereka bertiga. Dari ekor bibir, aku bertanya lirih, "Kamu pucat banget, Nu. Sakit?"

Ia menggeleng. Asap tipis terembus dari sela dua bibirnya. Matanya masih nyala siaga melirikku. Aku pun makin penasaran dibuatnya. "Kamu lihat sesuatu?" Tanyaku dengan sedikit bubuhan nada mendesak.

Dalam keremangan cahaya itu, kedua bola mata Benu mengisyaratkan agar aku melihat ke atas. Seketika bulu kudukku meremang. Sekujur tubuhku merinding hanya dengan asal mengartikan isyarat itu. Gemetaran, kuarahkan senterku ke arah pagar pepohonan perlahan. Sontak, tangan Benu menahanku. Senterku pun jatuh dan menggelundung terantuk tumpukan bebatuan.

Tiga orang senior yang berjalan di depan kami refleks berhenti dan menoleh ke arah kami. Tepat pada saat itulah, senter yang tak sengaja kujatuhkan mengarah ke atas, menembus ke barisan pepohonan latar ketiga orang itu. Aku tercekat.

Di atas sana, di dahan-dahan kayu besar, berdiri sekelompok siluet laki-laki. Jumlah mereka banyak sekali. Mulutku terkunci. Langkahku limbung mudur ke belakang, lalu menubruk Benu dan Adnan. Kami pun terjerembab bersamaan.

"A... a..." Ucapanku terbata. Mas Ali refleks melompat ke arahku.

"Hei, kalian kenapa?!"

"A... a..."

Di balik pundak lelaki itu, Daniel dan Mas Sultan menoleh ke arah yang kutunjuk dengan tangan gemetar. Begitu mereka melihat apa yang kulihat, sebuah peristiwa terjadi bersamaan dengan begitu cepat.

Lewat Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang