Banjir Darah di Atas Singgasana Lurah (bagian 2)

4K 273 50
                                    

Kumitir, 1992

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kumitir, 1992

Kokok ayam jantan berkumandang dari salah satu bilik kandang bambu rakitan Bapak. Keras sekali. Belum genap pekatnya malam memupus, belum juga sirna lapisan tipis kabut menggelayut, tapi kecamuk emosi dan porak-porandanya nalar tiada henti mengepung hati kami berempat.

Aku, Bapak, Ibu, dan Mas Topan duduk saling berdekatan di ruang tamu. Tak ada yang berani bersuara kala itu. Ada semacam suntikan kengerian yang melanda kami berempat, menyisakan tubuh yang sakit dan gemetar tanpa diberi tahu kebenaran di balik peristiwa mengerikan yang baru saja kami alami.

Kedua tangan Ibu membekap mulutnya sendiri dengan kain selendang batik celup yang kini menggelap sebagian oleh aliran darah dari sayatan di bibirnya. Beberapa saat lalu, ia tersadar olehku usai menggigiti piring dengan telanjang mulut di dapur. Tubuh kurus Mas Topan nampak gemetar hebat di balik selimut putih bergaris abu, yang kini juga terkena rembesan darah merah dari lubang hidung juga kemaluannya. Tatap matanya kosong, mulutnya menganga kecil dihujani rasa sakit dan kebingungan. Bapak mendaratkan pantatnya di lantai, memegangi paha Ibu di kala embusan napasnya belum memelan.

Bau amis darah bercampur nanah menguar di ruang tamu itu, tertahan tak mau pergi sejurus dengan ketidakmengertian kami akan peristiwa yang baru saja terjadi.

Ada apa ini sebetulnya?!

Apa yang terjadi pada Bapak, Ibu, dan Mas Topan?!

"Nanti Bapak akan temui Pak Jasuni," kata Bapak tiba-tiba dengan suara bergetar, "akan Bapak sampaikan apa yang baru kita alami..."

Tiada yang menanggapi, hanya aku seorang yang berani memandangi Bapak. Dari ekor matanya, ia melirikku sembari meneruskan kalimatnya yang seperti terpotong, "...kita telah diguna-guna."

***

Minggu pagi biasanya jadi jadwal rutin Ibu merawat anggrek-anggreknya di halaman depan. Di saat yang sama, aku dan Mas Topan akan bermain badminton di dekat jemuran di saat Bapak sibuk merawat ayam beserta kandangnya di belakang. Tapi tidak pagi ini. Tidak, setelah apa yang melanda kami semalam. Segala rutinitas kami pun sirna.

Usai adzan subuh, Bapak sudah bergegas ke rumah Pak Jasuni, menceritakan segala yang berhasil ia ingat, diimbuhkan dengan pengakuanku yang telah menyaksikan keseluruhan kejadian dari sudut pandang orang ketiga. Sebagai kepala kelompok pengusung Bapak di kontstansi Pemilihan Lurah kali ini, Pak Jasuni wajib mengetahui segalanya. Aku tak menyertai Bapak ke pertmuan itu karena harus menemani Ibu dan Mas Topan berobat ke rumah Pak Mantri. Kami bertiga berangkat pagi-pagi benar, menghindari kecurigaan orang-orang sebelum semesta desa memulai aktivitasnya.

Sejujurnya, ini hanya soal waktu. Cepat atau lambat, peristiwa mistis yang menimpa kami pasti akan menyebar juga. Sesuai dugaan, dunia medis gagal menemukan penyakit yang bersarang di tubuh Mas Topan. Sesuatu yang membuat kemaluannya mengeluarkan darah. Pak Mantri hanya membekali Ibu antibiotik untuk kesembuhan kakak angkatku, sedang untuk luka di bibir Ibu sendiri sudah lebih dulu diobati. 

Lewat Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang