Banjir Darah di Atas Singgasana Lurah (bagian 1)

5.7K 294 20
                                    

Kumitir, 1992

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kumitir, 1992

Malam itu, di kala hujan sedang deras-derasnya mengguyur bumi, lima orang laki-laki yang kukenal sebagai perwakilan tokoh masyarakat datang bertamu menemui Bapak. Salah seorang diantaranya -Pak Jasuni, sangat kukenal karena cukup rutin hadir berjamaah maghrib di langgar Mbah Dulah. Di balik kerai pintu kamar tengah, aku dan Mas Topan menguping kepayahan sebab suara obrolan mereka tersamarkan gemuruh tirai air di luar sana. Satu-satunya yang berhasil kami dengar kemudian mengemuka menjadi topik diskusi pagi ini, di atas meja makan.

"Bapak mau nyalon jadi Lurah?" Mas Topan, anak dari Pakde yang ikut keluarga kami sejak masih bayi itu membuka obrolan.

"Rencananya," sahut Bapak santai, "Kalau dapat dukungan dari tokoh desa yang lain, nanti."

Aroma segar sayur asem buatan Ibu menyublim dan membaur dengan udara pagi. Namun kesegaran itu gagal mengatasi kecanggungan yang menjelma di tengah suasana sarapan kali ini. Perkaranya, kami sadar Bapak bukan tipe orang yang kuasa memimpin. Jangankan tampil di atas panggung, sekadar keluar untuk ronda atau kerja bakti saja seringkali mangkir dan meminta salah satu diantara anak-anaknya untuk pergi mewakili. Bapak sangat pemalu, gemar menjauhi keriuhan desa.

"Memangnya, apa pertimbangan Pak Jasuni semalam, sampai-sampai keluar gagasan melamar Bapak buat maju jadi kandidat Lurah?"

"Yah, mana Bapak tahu, Pan..."

Begitu santainya tanggapan itu. Kami yang amat menuntut penjelasan lebih terpaksa menelan ludah misteri dan kebingungan. Ada sebuah upaya yang tertahan untuk membuat Bapak mempertimbangkan matang-matang permintaan orang-orang semalam. Secara garis besar, aku dan Mas Topan kurang setuju. Ada diskusi tanpa kata antara aku dan kakak angkatku itu, namun tak ada kemufakatan yang menjelma. Saat itulah Ibu muncul dari dapur.

"Dipertimbangkan lagi deh, Pak. Pak Jasuni dan yang lain 'kan semalam cuma melamar. Masih berupaya membujuk saja, bukan menunjuk Bapak buat nyalon beneran."

Lega rasanya Ibu menyuarakan kecemasan kami tanpa diminta. Bapak menanggapi sambil terus menjalankan ritual sarapannya. "Pak Jasuni bukan yang utama, Bu. Beliau, sebagaimana empat orang lainnya itu diminta langsung sama Mbah Manten, Lurah kita dua periode lalu, untuk mendukung aku supaya nyalon. Pasalnya, sekarang ini cuma ada calon tunggal, Pak Rantau seorang."

"Memangnya kenapa kalau Pak Lurah Rantau nyalon lagi, Pak?" Sambarku.

"Bukan soal itu, Bayu. Secara hukum, nggak boleh ada calon tunggal. Musti ada tandingannya, maka dari itu Bapak diminta jadi tandingan Pak Rantau sebagai calon Lurah kedua."

Aku, Ibu, dan Mas Topan saling pandang. Sejauh yang kupahami, sampai detik itu kami masih belum bisa menyetujui persetujuan Bapak menerima lamaran Pak Jasuni dan yang lain, kendati itu merupakan mandat dari Mbah Manten yang terhormat.

"Masih ada waktu buat memutuskan," kata Ibu, "Dipikir masak-masak lagi, Pak."

Mas Topan menggeleng-geleng seraya menelan kunyahannya. "Intinya, dari kami: Kami nggak setuju Bapak nyalon jadi Lurah."

Lewat Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang