Banjir Darah di Atas Singgasana Lurah (Bagian 3)

4.6K 327 83
                                    

Kumitir, 1992

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kumitir, 1992

Kesunyian pagi di Desa Kumitir pecah oleh suara dengungan pengeras suara dari lapangan depan Balai Desa. Tak lama kemudian, terdengarlah suara lelaki yang dengan nada seraknya membuntuti.

"Tes, tes...satu dua tiga...di-co-ba..."

Bersamaan dengan datangnya gema suara itu, aktivitas di dalam rumahku segera dimulai. Keriuhan pun terbentuk. Beberapa orang wanita yang tadi berkumpul di dapur belakang nampak merejang air panas yang diperuntukkan untuk mandi Bapak. Di ember besar itu, kulihat kelopak-kelopak bunga aneka rupa mengapung, merebakkan harum yang memusingkan kepala sejurus dengan asap yang mengepul. Tak lama kemudian, dalam balutan kain batik yang menutup bagian bawah tubuhnya, Bapak dimandikan oleh 'orang pintar' kawan Pak Jasuni.

Aku mengamati keabsurdan itu dari meja dapur. Tiada hentinya mulut ini merapal doa, menyusupkan harapan agar kemusyrikan yang sedang kusaksikan itu tak mendatangkan marabahaya. 

Tak lama setelahnya, menyusul Ibu lalu Mas Topan, bergantian membasuh badan mereka dengan air rendaman aneka kembang itu. Sejauh yang kuketahui, baik Ibu maupun Mas Topan sama-sama tak berhasil mengingat peristiwa semalam. Saat mereka berdua mandi bergantian, aku bergegas ke sumur di ujung halaman belakang yang dipagari oleh kandang ayam dan rumah kayu, memandikan tubuhku sendiri sebelum dipaksa mandi air kembang yang sama. Ketika jam di dinding menunjukkan pukul 8, kami berkumpul di ruang tamu dalam kondisi rapih.

Pak Jasuni membuka suara, "Assalamu'alaikum warakhmatullahi wabarakatuh. Bapak-bapak, Ibu-ibu, keluarga Bapak Hakim, dan Bapak Manten Supardi yang saya hormati. Persiapan sudah lengkap. Mari kita songsong kemenangan Kubu Kentang. InsyaAllah, Kentang Menang!"

"Kentang Menang!"

Gemuruh suara itu menandai langkah rombongan kami. Aku yang dipaksa berjalan di sebelah Mas Topan tak berani memandang sekitar. Tepat ketika arus rombongan hendak masuk ke jalan desa, kulihat Pak Jasuni beserta Mbah Manten dan sekelompok orang memisahkan diri dari rombongan, menggandeng tangan Bapak, menemupuh jalur lain. Tanpa diminta, Pak Rus yang berada di sebelahku mendekatkan wajahnya seraya berbisik, "Bapak harus masuk ke tempat coblosan lewat timur, Yu. Jangan kuatir."

Aku mendengus. Perkara mistis apa lagi kali ini?

***

Keramaian ternyata sudah menjelma, bahkan sebelum sampai di pintu masuk lapangan Balai Desa. Jalan menuju ke tempat pemungutan suara dipenuhi kertas-kertas bergambar padi dan kentang saling berkesinambungan, berpuncak di area pemungutan suara yang mewujud menjadi bendera dan spanduk besar, ditegakkan bersisihan, seakan-akan perseteruan dua kubu itu telah dibahasakan lebih awal lewat barisan penanda.

Dengan jumlah pemilih yang tak cukup banyak, aku yakin prosesi pencoblosan kepala desa kali ini tak akan memakan waktu lama. Ketika gerombolan kami memasuki gelanggang, bisik-bisik warga beradu tepuk tangan menyambut kami. Tepukan itu jelas berasal dari orang-orang pendukung Bapak. Ada senyum yang nampak diupayakan susah payah oleh Ibu di atas wajah pucatnya. Aku tak berani lama memandang sekeliling, hanya mampu kupandangi pergerakan langkah kakiku sendiri. Namun dari ekor mata, aku mampu melihat barisan pendukung kubu padi mengenakan kostum bertani. Banyak di antara mereka yang menenteng cangkul dan sabit sebagai penguat simbolisasi dukungan untuk junjungan mereka.

Lewat Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang