Bujukan dalam Bisikan

5.7K 296 36
                                    

Brebes, 1994

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Brebes, 1994

Ayah meninggal di hari kelulusan SMA-ku. Berat rasanya, mengingat Ayah adalah satu-satunya pemikul beban keluarga. Ibu yang sakit-sakitan jelas tak punya kuasa untuk meneruskan tanggungjawab mendiang belahan jiwanya. Sebagai anak pertama laki-laki, tongkat estafet itu kini berpindah ke tanganku meski harus kugenggam dengan tangan terbata. Mimpiku untuk melanjutkan belajar di bangku kuliah pun pupus sudah. Kini, tiga bulan setelah kematian Ayah, aku terpaksa harus menapaki dunia kerja berbekal keterampilan yang sama sekali tak pernah kumiliki. Di rumah, dua adikku yang masih sekolah amat bergantung pada keberhasilan nasibku. Ditambah dengan buruknya kondisi ibu, tanggungjawab itu semakin berat terasa.

Di hari pemakaman Ayah, aku dikenalkan dengan Pak Sumar, kolega Ayah yang bekerja di Perum KA, Badan Usaha yang menaungi perkeretaapian. Oleh bantuan beliau, aku bisa masuk sebagai staf administrasi stasiun dan mendapatkan sedikit penghasilan dari sana. Namun, keping rupiah yang kuterima jauh dari cukup. Untuk sekadar menopang biaya keseharianku pun masih tertatih-tatih. Sebagai pegawai baru, kujalani rutinitasku menyalin laporan dan membuatkan kopi untuk staf senior lain, yang mana pekerjaan itu jauh dari yang kuinginkan. 

Sadar akan minimnya uang yang kuterima, aku memilih untuk tinggal di mess belakang stasiun, tinggal beramai-ramai dengan keluarga staf perkeretaapian lain yang belum genap kukenal semua. Namun, di antara semua penghuni mess yang ada, Bu Asri dan anak balitanya yang bernama Bangun yang paling dekat denganku. Suami Bu Asri, Pak Wawan bekerja sebagai pegawai reparasi. Hampir tiga minggu tinggal di sini, beratnya beban hidupku belum juga terurai. 

Malam itu, di malam minggu yang sepi, aku merenung di pojok utara area pemukiman staf. Di hadapanku, jalur rel besi yang tak terpakai meliuk-liuk dan berakhir pada kegelapan. Gerbong-gerbong usang berserakan tak menentu di atasnya, ditumbuhi semak tinggi, membubuhkan nuansa yang lain tiap malam menjelang. Namun, dalam kesepian malam itu, aku justru merasa tenang. Lamunanku mengembara, membayangkan keluarga di rumah yang kini mungkin tengah hidup apa adanya dengan sisa uang tabungan Ayah. Memikirkan nasib adik-adikku yang masih sekolah, dan kondisi ibu yang buruk saat aku pergi kemari kian menambah kemurungan di hatiku. Pada saat mataku kosong menerawang ke seberang, sebutir batu terlepar ke bawah kakiku.

Aku pun tersadar. Mataku nyala siaga, mengedar semampunya ke arah depan. Lalu aku tertegun. Dalam keremangan sisa cahaya, aku melihat anak lelaki kecil berpakaian longgar dan kumal berdiri di sana. Kepalanya nyaris pelontos. Tubuhnya yang kurus menyaru dengan semak belukar di belakangnya, menenggelamkannya nyaris menyerupai siluet.

"Tolong ambilkan, Mas!"

Suaranya yang cempreng mengagetkanku. Ada jeda sesaat sebelum aku menyadari permintaannya. Tanpa berpikir, aku melompat turun dan mendarat di atas tanah berbatu, lalu mencomot kerikil yang tadi dilemparkannya. Ia masih menunggu saat aku mengangkat batu kecil itu. Begitu kulemparkan, batu itu mendarat di bawah kakinya.

Ia bergeming.

Sepertinya dia cuma anak jalanan yang suka nongkrong di sekitaran stasiun. Banyak anak-anak yang sosoknya menyerupai dirinya. Anak-anak yang terbuang. Begitu keheningan tercipta, ia membungkuk dan kembali memungut sembarang batu di sela kakinya, lalu melemparkannya ke arahku. Batu kecil itu kembali mendarat di sekitar kakiku. 

Lewat Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang