Roh-roh Halus itu...

14.4K 689 49
                                    

Mereka menjelma dalam gulita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mereka menjelma dalam gulita. Berlarian di atas kepingan kaca tanpa merasa. Kini aku tahu, bahwa rasa sakit bukanlah bagian dari mereka. Tapi penasaran. Rasa ingin tahu yang membuat mereka tertahan di sini. Di alam tempat kita hidup dan menghirup udara segar. Sedangkan mereka, roh-roh halus itu hanya kembali memperlihatkan diri untuk memberitahu kepedihan yang menjemput ajalnya

September, 1994.

Tembok-tembok tinggi berlumut membatasi sisi belakang Rumah Sakit Kembang Cempaka. Pagar dinding itu menyisakan cerita-cerita ganjil yang timbul dan tenggelam. Cerita yang berbeda-beda, namun selalu terikat di lokasi yang sama.

Sekali waktu, tembok tua yang berbatasan dengan tanah tak bertuan itu memunculkan sosok lelaki renta tak berkulit. Di malam yang lain, penampakan wanita dengan kepala terbalik mengusik sebagian perawat rumah sakit. Namun, cerita tentang tawa riang anak-anak yang berlarian di atas pagar tinggi tembok itu masih menjadi buah bibir yang paling mengguncangkan nalarku. Alasannya sederhana saja: Aku sendiri yang mengalaminya.

Malam kelahiran anak Pak Kasman disambut gembira oleh segenap warga desa. Berbondong-bondong, mereka datang membesuk ke rumah sakit tempat putra ragil pedagang beras itu dilahirkan. Peristiwa ini, disamping menggembirakan, rupanya juga menjadi saat yang dilematis karena berbarengan dengan jatuh sakitnya Mbah Kromo, mantan ketua RT setempat. Kakek jompo itu dirawat di rumah sakit yang sama. Sebagian pembesuk silih berganti mendatangi Mbah Kromo usai menemui si bayi merah. Karena hidup sebatang kara, akulah yang ditugasi pak lurah untuk menjaga beliau. Sebagai seorang pengangguran, imbalan seratus rupiah semalam untuk menjaga seorang lelaki tua sangatlah menggiurkan.

Malam itu, pekat mengepung. Ini hari ketiga aku bermalam di bangsal tua yang luas dan pengap ini. Dan entah mengapa, nuansa kali ini agak berbeda.

Bayi kecil putra Pak Kasman baru saja dibawa pulang sore tadi. Namun, Mbah Kromo masih tertahan di bangsal berdinding semen basah itu. Perasaanku sedikit terganggu. Kelengangan tanpa bebunyian apapun merundungku dalam ketidaknyamanan. Dengkuran napas Mbah Kromo menjelma menjadi matra penidur. Rasa kantukku bergelut dengan hawa dingin yang menggelayuti kegelapan. Tak kuat, aku pun keluar dan mencari pojokan untuk merokok sembari berjalan-jalan di lingkungan rumah sakit. Sepanjang langkah kubawa, darahku berdesir, menghangatkan pembuluh di sela otot tubuhku yang beku. Sebagian lampu bohlam kuning menyala remang di sudut-sudut lorong.

Sebatang rokok kuhabiskan. Nahasnya, itu adalah batang terakhir. Tak ada cadangan di kantongku. Perlahan, rasa kantuk datang menyerang. Kembali kususuri jalur koridor semula menuju Ruang Flamboyan di sisi barat. Namun, entah disebabkan oleh lamunan atau kedunguan, aku tersesat. Jalan yang kuambil sepertinya keliru.

Aku berhenti di gang buntu. Tak ada orang disana. Sepi yang memagut mengikis keberanianku. Ujung lorong itu hanya dibatasi dinding. Tak ada ruangan di kanan kirinya. Aneh.

Tak mau ambil resiko, kuputuskan untuk memutar langkah ke arah semula. Saat selangkah kutempuh, aku tertahan oleh suara tawa anak-anak kecil. Aku pun siaga. Telingaku waspada manakala pandanganku mengedar, menjelajah sekeliling. Suara itu terdengar dari ujung lorong gelap.

Lewat Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang