1. Zeka

20 8 4
                                    

Pemberitahuan tujuan stasiun terdengar kuat, tapi gue gak mau lepas dari foto bersama adik cewek gue semasa ada acara di sana. Duh, kebelet rindu gue sama nih cewek satu. Lebih lagi terakhir kali ketemu dia, rambutnya udah panjang dan gemar pakai baju unisex----gue dengar ini waktu temen satu asrama bahas fesyen.

Kereta perlahan melamban, di situlah gue ambil semua barang sampai desak-desakan dengan para penumpang. Mata gue kadang lihat cewek dengan jaket hitam dekil tengah berdiri depan pintu kereta. Sambil gendong ransel dan jinjing kardus, gue keluar saking kebelet pengen peluk dia. Iya, cewek berjaket hitam dekil itu. Dia juga sama cerianya sama gue yang berlari rentangkan sebelah tangan.

"Bang Eka!"

"Enci!" Yep, nama panggilan spesial gue buat spesies satu ini (tolong baca e-nya pakai e yang ada tanda petik satu). Kami saling berpelukan erat, seakan maksa gue cium jaket yang bau darah. "Kamu masih pake jaket abang?"

"Pasti!" Dia tanpa ragu masukkan kedua tangan ke saku jaket. Gue yakin si Enci mabok bau amis nanti. "Cuma jaket ini yang bisa obati rindu ketemu Abang."

"Kan bisa lewat surat, Ci." Gue rangkul pundak Enci dan pergi keluar stasiun----tentu gak dekat-dekat dengan kerah jaket bekas gue yang dekilnya mirip terasi. "Lagian nih jaket harusnya dibuang aja."

"Gak boleh!" Bisa-bisanya Enci lepas dari rangkulan gue, berjalan mundur di hadapan gue. "Aku sayang jaket ini. Ke mana-mana aku pakai tau."

Termasuk pergi sekolah? Gue hanya bisa tersenyum kecil. Ah, gue baru ingat, celingak-celinguk ke arah parkiran. "Kamu ke sini sendirian?"

"Iya," katanya mengeluarkan kunci motor di saku rok kelabu, berbalik dan lari kecil cari kendarannya di parkiran, lantas gue ikuti dia. Firasat gue gak enak soal seragamnya kalau Enci benaran pergi jemput gue sehabis pulang sekolah. "Tadi ada orang-orang pakai seragam loreng tanya aku. 'Mau nungguin siapa?' Jadi aku jawab 'mau nunggu abang'."

"Terus?"

"Dia malah tanya nama, ya udah aku jawab namanya Zeka. Eh, mereka langsung pergi." Enci dan motor tipe ninja menyembul menyambut gue. "Kayaknya mereka mau jemput abang, tapi udah keduluan sama aku."

Gak, Ci. Mereka pergi karena jaket lo yang baunya bisa jadi senjata buat bekap target sampai pingsan, pastinya selain nama geng 'The Bad' yang terpampang jelas. Maka dari itu gue gak banyak komen dan biarkan Enci antar gue----yang katanya----pulang.

Namun, gue masih tahu banyak soal Enci, spesies yang gue harap bisa bahagia seperti cewek kebanyakan. Ucapan Enci gak sepenuhnya benar. Gue yang harusnya pulang bareng dia justru berakhir di warkop mang Nganjuk, tempat kami habiskan waktu malam setelah menghadapi si bangsat berkedok ibu.

"Kenapa kamu ngajak abang ke sini?" Gue duluan turun memandang kedai kecil dengan terpal hampir jebol. Gue senang nih warkop gak pernah berubah. Terbayarkan pula rasa rindu gue sama aroma manis bubur ketan.

"Ayolah, Bang." Dia seenak jidat senggol siku gue. "Yakin gak rindu sama bubur ketan? Mang Nganjuk aja rindu Abang kayak kebelet pup orang diare."

"Bisa aja kamu." Lantas gue balas dengan mengacak rambut Enci. Kami serempak tertawa, duduk pun barengan.

"Si Venchy kayaknya bahagia banget." Senyum gue merekah usai jumpa dengan pria berkumis putih yang mulai kurusan seiring bertambahnya umur. Hanya senyum dan kekehan renyah yang takkan pernah berubah. Mata dia bergerak lihat gue. "Ini siapa, Ven?"

"Lah, Mang Nganjuk beneran gak kenal?" Dia malah ketawa, belum juga Mang Nganjuk jawab. Kelihatan kan gak kuat nahan rindu sama gue. "Dia Abang aku, Mang. Bang Eka."

"Bang Eka?" Mata keriputnya makin tertutup jika menyipit. "Abangnya Venchy?" Dengan sekejap dia membeliak kaget depan muka gue. "Ini beneran Zeka?"

Gue pun tergelak renyah. "Iya, Mang. Ini aku, Zeka."

"Buset, Ka!" Dia geleng-geleng hingga beruraian air mata. "Gak nyangka kamu bisa pulang dalam keadaan selamat dan lihat badan kamu sekarang----tegap banget." Aish, gue malah pengen nangis kalau Mang Nganjuk ketawa begitu. "Ha-hari ini, Mamang bikin bubur ketan kesukaan kalian, percuma!"

"Asyik! Gratis!" Astaga, jantung gue bisa copot lihat senyum lebar Enci, apa lagi tuh cewek nyengir kuda sambil acungkan kepalan tangan secara bergantian.

Iya, senyuman Enci yang gue rindu.

Sampai magrib, kami bahas macam-macam dengan kehadiran semangkuk bubur ketan. Kalau makan buburnya ikut trend tim buryam diaduk atau gak, gue masuk tim bubur gak diaduk. Dengan begitu, gue bisa rasakan gurih santan dan legit dari ketan. Mang Nganjuk lebih banyak tanya ketimbang Enci, merujuk pada keseharian gue selama ikut militer.

Gue gak tahu berapa lama tinggal di sana demi mengabdi pada negara, yang jelas kehidupan gue perlahan membaik. Gue jadi berhenti merokok dan minum kopi, makan teratur, konsisten dengan latihan selama masa jabatan dan tes untuk naik pangkat, bisa kendalikan emosi, dan tetek bengek yang bikin gue jadi seperti sekarang.

Yah, meski akhirnya gue diolok-olok Mang Nganjuk karena belum nikah di umur menjelang 30-an. Iya, nanti juga gue nikah, tinggal tunggu momentum yang pas buat ketemu dia. Siapa yang rela nunggu orang demi sebuah cinta? Hanya segelintir yang mau kayak gini, bahkan gue gak tau dia termasuk atau gak. Maka gue senyum doang sebagai jawaban.

Setidaknya, gue punya hak ciptakan harapan agar dia masih cintai gue, bukan?

****

Kami bukan pulang ke rumah lama, melainkan kosan tempat tinggal Enci sekarang. Gue baru tahu dia sudah pisah rumah dengan Inci----nama panggilan spesial gue buat adik kembarnya Enci. Gue juga disambut hangat oleh pemilik kos.

"Mimi kos baik banget kasih aku keringanan buat cicil sewa kos," katanya begitu sampai di kamar. Otak gue langsung bekerja tanpa harus disuruh.

"Itu berarti kamu sekolah sambil kerja?" tanya gue mengedarkan pandangan pada kamar minimalis ini. Gak gue sangka, Enci tumbuh jadi cewek mandiri. Entah kenapa gue makin sayang.

"Hooh." Dia lepaskan jaket dan menggantungnya di cantelan belakang pintu. "Kalau gak kerja, gimana caranya aku bayar sewa kalau minta uang sama si monyet aja susahnya kebangetan?"

Ah, si monyet itu.... Dengar dia bilang 'mama' rasanya bikin kepala gue mau meledak. Ingatan gue langsung mengarah pada caranya menghukum Enci. Jeritan dia menggaung, seakan memecah gendang telinga gue dengan tiada ampun. Tak henti-henti Enci serukan panggilan gue dan bapak yang mengiringi bunyi pecutan sebatang lidi. Satu per satu gores menghiasi tubuh----

"Bang Eka!" Lamunan gue langsung buyar dengan rasa sakit di daun telinga. Dua mangkuk mi kuah dan teh hangat tersaji di meja kopi. Muka cemberut Enci paling debest bikin gue insomnia. "Mulai lagi ngelamun ah. Udah lama jadi tentara, tetap aja kebiasaannya gak hilang."

Gue cuma bisa terkekeh. "Namanya juga manusia."

"Manusia mana yang mau pertahanin sifat jeleknya sampai tua?" Satu suapan dia lahap sampai bersenandung menikmati rasa. "Enak banget...."

Gue tak mendengar Enci bicara lagi. Hanya mulut yang komat-kamit dan denging yang penuhi gendang telinga. Fokus gue berpusat pada kumpulan garis merah di pergelangan tangan dan tulang pipi yang sedikit cekung macam kena tinju.

Seingat gue, gak ada surat Enci yang isinya perkara baku hantam dengan lawan jenis. Semuanya hanya menceritakan kehidupan Enci yang bahagia setelah berpisah dengan si monyet.

Atau ... mungkin saja Enci berbohong? Kayaknya gak mungkin deh. Sekali lagi, gue tahu banyak soal Enci, salah satunya adalah dia tak pernah berbohong sama gue. []

Pain Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang