Yes, Minggu adalah jalan ninjaku! Selesai ganti baju, aku siap seratus persen untuk bersih-ber----
"Venchy." Suara Deva di hari Minggu juga adalah sumber semangatku untuk memerangi hari Senin! Kulihat dia tengah baca novel remaja sambil makan crouffle. Memang kebiasaan idaman cewek kalau bikin cemilan manis buat dimakan sendiri. "Kamu bakal bersih-bersih kafe, kan?"
"Iya, Mbak." Aku mengangguk puas. "Apa ada yang saya bantu?"
"Kau sangat peka, ya." Mantap, senyum lembut Mbak Deva yang diinginkan semua pegawai biar semangat kerja di sini! Dia melirik sambil berteriak nama seseorang. Kalau gak salah dengar, nama cowok yang dipanggil itu Arjuna deh. "Tolong hari ini kamu kerja bareng dia. Bisa, Venchy?"
"Siap, Mbak."
"Lalu kamu, Juna." Wanita penyuka pakaian warna sejuk itu berpaling dariku. "Kamu harus banyak-banyak tanya sama dia kalau gak ngerti. Pantengin terus keaktifan kerja dia. Mengerti?"
"Mengerti." Entah waktu Bang Juna ngangguk, fisaratku mulai gak enak. Namun, seenggaknya sorot mata dan senyuman dia yang polos minta ampun bikin hatiku klepek-klepek. Nambah satu kan cogannya. "Aku ... pengen tau namamu."
Ah! Bisa-bisanya kamu salah tingkah, Venchy! Plis, jangan kumat! "Namaku Venchy Mariana. Abangku sering panggil aku Enci, padahal dia sendiri yang kasih nama kayak gitu."
"Kalau gitu, aku pengen panggil kamu Mariana aja." Oh no, tawa dia bikin otakku melayang. "Boleh?"
"Bo-boleh." Gak ada balasan yang lebih estetik selain angguk satu kali. Fix, bayangan keimutan Bang Juna bakal terngiang-ngiang pas boker. Demi!
Oke, fokus sama kerjaan, Ci.
Pertama dan paling utama, aku ajari dia kalau sebelum jam 8 pagi, kafe harus bersih bin kinclong. Wajib shining shimmering splendid. No debat. Begitu pula sebelum pulang. Selama bersama Bang Juna, aku selalu greget sama dia, terutama waktu dia tanya hal-hal umum tentang sekolahku. Gak tau kenapa mukanya kayak semringah gitu.
Bunyi lonceng pintu terdengar, terlintas niat meminta Bang Juna untuk perhatikan caraku menyambut pelanggan.
"Lihatin aku ya, Bang." Begitu dibalas anggukan bermuka polos dari Bang Juna, aku beringsut mendekati pengunjung baru.
"Selamat da----Abang?" Kenapa harus si cogan yang mustahil aku gaet sih? Sialan. "Abang mau ngapain ke sini?"
"Mbakmu tuh," jawab dia nunjuk Mbak Deva. "Minta Abang ke sini."
"Logatnya medok banget, kataku menyipit dongkol. Padahal Abang asli da----"
"Kan Abang udah lama di sana, makanya logat medok Jawanya kebawa!"
"Kamu berdua bisa berhenti tidak?" Kami langsung bergeming kalau Mbak Deva udah bersuara. Di balik buku, aku bisa rasakan tatapan datar bin dingin seakan mengutuk kami jadi batu. "Kasihan pelanggan saya jadi tak nyaman."
Aku langsung kabur lanjutkan kerja. Bang Juna dipanggil, persetan mau beliau apakan. Pokoknya, selama layani pelanggan otakku terus bekerja susun daftar kegiatan yang harus dia ketahui sebelum jalankan tugas sendiri-sendiri besok. Barulah aku dapat waktu istirahat. Sambil makan bubur ketan yang kubeli dari pedagang keliling, aku mempelajari modul matematika peminatan versi Uwel. Waktu guru-guru sedang rapat, dia sendiri yang datang berikan buku itu.
Dari pada disia-siakan, jadi aku belajar aja.
"Mariana lagi belajar apa?" Hampir aku ngelatah kata-kata haram. Bang Juna dengan mata sembab duduk di depanku.
"Belajar matematika. Bang Juna mau ajarin?"
Nampaknya dia terkejut. "Boleh? Aku lumayan kuasai studi hitungan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Between Us
Ficção Geral8 tahun telah berlalu. Satu per satu telah menjadi sukses, termasuk Zeka yang baru bisa pulang dari kegiatan mengabdi pada negara. Banyak harapan yang ingin ia wujudkan begitu sampai di daerah kelahirannya, tapi semua itu berujung penuh teka-teki. A...