19. Venchy

5 4 0
                                        

2 minggu kemudian....
Hidupku gini-gini amat, bangun sekadar berangkat sekolah Cuma nimbrung di ruang OSIS dan berkutat dengan kerjaan sebagai anggota seksi dokumentasi. Maksudku, emang gak ada kerjaan keren selain ... edit foto, bikin poster sekolah, bahkan buat laporan acara sekolah?

Gak sih, patroli malam selalu menunggu, tapi kan lama-lama bosan juga. Mendadak pengen cari kegiatan baru yang masih bisa aku kerjakan di sekolah. Aku mendesah pasrah atas urusanku dengan laptop milik Daniel alias Uwel.

“Udah selesai, Ketua,” kataku bersandar di sofa sambil regangkan otot lengan ke atas. “Please, hari ini kasih aku kerjaan yang anti-mainstream selama jadi pengurus OSIS.”

“Ya udah, kepoin si Bagas tuh.” Itu jawaban yang paling aku hindari saking malasnya berurusan sama cowok kepala batu kayak dia. Mana dia ngomong tanpa lirik orang yang disebut. “Tumben banget dia pelanga-pelongo depan hape, biasanya datang-datang rampas buku punyaku buat dibaca sampai bel masuk.”

Dan tunggu dulu, kedengarannya seru. Pasti ada yang gak beres sama kewarasan Bagas, lantas kudekati sambil pasang senyum jahil. Gimana ya aku jelasinnya? Paling penting, Bagas gak sadar aku numpang lewat, padahal aslinya....

“Hayo ngapain kamu?” Aku langsung tepuk punggung Bagas dari belakang. Entah karena dorongan yang kuat atau suaraku yang cempreng sampai berpotensi pecahkan kaca kalau pakai toa masjid, tuh cowok seketika pencet layar hape sembarangan. Untung gak jatuh.

“Lu mau gua hajar, anj*ng?!” Ini nih alasan aku malas kepoin cowok modelan Bagas. Keluar semua dah bahasa kebun binatang.

“Uwel sendiri yang nyaranin!” dalihku cengengesan dan menunjuk si biang kerok.

“Kan situ yang pengen dapat kerjaan,” kata Uwel yang sedang catat sesuatu di buku quarto.

“B*ngsat lu, bacot!”

“Lagian, kamu gak biasanya lihat hape lama-lama,” kataku balik ... ladeni Bagas. Sejujurnya, aku lebih kepengen ngobrol sama Bagas mode culun. “Kenapa emang?”

Kudengar Bagas mendesah malas. “Gua lagi lihat pengumuman event yang lolos seleksi. Nama gua ternyata tercantum di sana.”

“Ah.... Event nulis artikel yang itu, ya?” Loh, kok aku gak tau? Atau emang jarang pantau orang ngobrol? Kulihat cowok terganteng----menurutku----itu lekas dari pekerjaan sebagai ketua OSIS. “Itu berarti kamu bakal ke sana buat ikut bimbingan menulis artikel opini dengan tema tertentu?”

Fix, aku gak tau apa-apa, jadi aku Cuma bisa bilang, “Cieee, yang lolos seleksi event.” Sambil senggol tangan Bagas hingga orangnya mendesis kesal.

“Kayaknya iya,” kata Bagas mengatur letak kacamata. “Gua gak berharap banyak selain artikel opini gua diterbitkan di media massa.”

“Emang apa yang kamu tulis?” Serius, aku pengen tau.

“Gua nulis artikel tentang kasus geng remaja yang kita analisa. Anggap aja gua berkontribusi secara gak langsung dengan pihak kepolisian, moga dengan tuh artikel bisa membuka banyak cara buat hapus geng-geng anj*ng.”

“Amin....” Dalam hati, aku mengkritik sifatnya yang masih sembrono dalam berucap. “Ngomong-ngomong, luka kamu belum sembuh juga, Gas?”

“Napa? Lu mau bayarin biaya pengobatan gua sampai dirawat di rumah sakit pake nama abang lu?” Siapa juga yang mau ajak kamu ke rumah sakit? Dasar kutu air!

“Jangan bawa-bawa nama abang aku, please....”

Pintu terbuka lebar, seenggaknya menjadi akhir dari pembicaraan antara aku dan Bagas yang makin ke sini jadi pengen baku hantam kalau gak dicegah. Mira datang dengan senyum manis, walau hidung dia masih diperban.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pain Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang