14. Bagas

5 4 0
                                    

"Ternyata kamu tepati janji, Nak." Aku baru selesai jogging dan berniat cuap-cuap singkat perkara masalahku ikut event itu malah kena cuci mata. Mbak Deva tampak seperti anak-anak dengan jaket hoodie dan celana training. "Duduklah, saya buatkan teh."

"Gak usah," selaku menunjukkan botol tupperware. "Saya bawa minum sendiri."

"Oh ya? Baiklah." Kuturuti perintah dia. Pulihkan energi dengan minum sisa air mineral dan menghirup udara di pagi hari, terkadang mengagumi tanaman yang memenuhi halaman rumah dengan penuh estetika. Apa keluarga Mbak Deva gemar berkebun?

"Kau suka bunga, Bagas?" Datang juga wanita anggun ini, duduk dan menyesap teh ... apa ini? Teh hijau? "Mungkin suatu hari saya kasih satu pot buat kamu."

"Lu-lumayan suka sih, tapi rasanya bakal penuhi ruangan."

"Benar juga. Kamu tinggal di indekos." Sisa setengah gelas telah diminum, barulah Mbak Deva bertanya. "Apa yang ingin kamu bicarakan pada saya? Sangat penting, kah?"

"Mungkin saya bakal bilang ... tidak penting buat Mbak. Buat saya sendiri, ini sangat penting. Jika bisa, hal yang akan saya ceritakan akan memperingan kerja pihak keamanan. Saya ingin bekerja sementara di kafe Mbak, sampai mendapatkan upah sebesar 200 ribu."

"Kenapa kamu ingin sekali kerja di kafe saya demi dua lembar uang merah?" tanyanya menyipit angkuh. Gitu aja makin elegan loh.

"Saya butuh uang segitu untuk ikut event menulis artikel," jawabku mulai merunduk. Makin gak yakin sama perangai Mbak Deva. "Tahap pertama event berlangsung adalah seleksi untuk mendapatkan 10 orang yang dapat menikmati fasilitas untuk menulis artikel tema kriminal, sekaligus bersama-sama buat artikel dari kasus yang menggemparkan seisi negara. Nantinya artikel buatan 10 peserta terpilih akan disebarkan lewat media untuk memilih satu artikel dengan topik kriminal pilihan netizen, yang akan dibahas bersama-sama dari berbagai pihak.

"Saya gak masalah dengan bahan riset dalam menulis artikel, tapi kendala saya cuma satu: event tersebut berbayar." Berakhir sudah nyaliku. Tak ada respon dari dia. Harusnya aku menduga kalau bernegoisasi dengan Mbak Deva adalah pilihan terburuk.

"Apa kau yakin bakal menang di event tersebut?"

"Urusan menang atau kalah, saya memang tak yakin, Mbak. Tapi setidaknya, saya yakin kalau artikel yang saya tulis mampu menyelamatkan daerah ini. Saya berniat ... menulis artikel tentang kekejaman geng remaja sekarang. Lewat artikel itu pula, saya ingin berjuang sendiri menumpas geng yang saya bangun semasa SMP."

"Dan kenapa kamu minta pekerjaan demi sejumlah uang supaya bisa daftar event itu? Padahal kamu sendiri gak yakin bakal menang atau kalah." Mbak Deva bener-bener bikin mulutku bungkam. Aku tak bisa berkata-kata selain menunduk sesali keputusanku.

"Tapi jika kamu memang butuh...." Lima lembar uang seratus ribu ditindihi botol tupperware kosong. "Pakai uang itu dengan sebaik-baiknya, jangan anggap kamu pinjam uang dari saya. Gak usah kerja di kafe saya juga, kamu punya kerjaan nulis artikel. Buat sebuah karya yang membuat saya----termasuk kakak saya----terkesan dan menarik minat untuk mendukung pendapatmu, Bagas."

"Dan saya tahu Mbak punya maksud lain kan di balik uang ini?" terkaku menatap dingin. "Katakan saja, asal tak menyuruhku bergabung kembali dengan geng demi secuil informasi tak berguna. Ini kali sekian Mbak berikan saya kenikmatan dengan sebuah imbalan paling tak masuk akal."

"Buat apa saya lakukan hal seperti itu?" Mbak Deva mendengus sinis. "Tapi, boleh juga kepekaanmu dalam hal menebak. Saya hanya minta satu salinan artikel, mau itu kamu lolos seleksi atau gak. Jika kamu terima keinginan saya, ambil uang itu dan pergi."

"Senang bisa berbisnis dengan Mbak," kataku mengambil botol tupperware kebanggaan emak-emak. "Saya terima tawaran Mbak dengan syarat, tak boleh umbar segala informasi tentang artikel saya pada teman Mbak yang tentara itu."

"Tentu...."

****

"Lagipula, saya tak punya hubungan apa-apa dengan dia selain teman lama." Tetap aja aku ngerasa gak nyaman meski sebatas teman lama. Uang pun udah ada di tanganku. Artinya, Mbak Deva sungguh berharap padaku.

Ayo, hape. Kita habiskan energi sampai layak rebahan!

"Dimakan dong burcangnya, Dek," kata Mang Nganjuk duduk menaruh bubur ketan, mungkin dia lapar. "Jangan banyak main hape."

"Oh, iya." Aku mengangguk, saat itulah seseorang datang dengan suara yang kukira adalah Uwel. Maksudku, nada bicaranya cukup berat. Dia menyapa dan memesan semangkuk bubur ketan. Gak kusangka badan dia kekar bukan main, mana babyface lagi.

"Udah Mamang duga kamu kemari buat pesan bubur ketan, Zeka." Ternyata makanan tadi buat dia. Tadi kudengar namanya Zeka. Seingatku, nama itu sering Venchy lontarkan saat mereaksikan ketampanan----kuakui emang ganteng sih----sang kakak semasa jadi calon taruna. Kayak gini toh tampang abangnya Venchy. Jelas masuk kategori cogan di hati Venchy.

"Kemarin kenapa gak datang? Ada urusan di markas?"

"Iya, waktu itu suasana hatiku lagi buruk gara-gara geng remaja." Nyaris aja tersedak sari-sari kacang hijau. Dia bahas geng mana? Apa geng Semar? Atau geng Darah Hitam? "Tiba-tiba lempari bata sambil nyatakan perang."

Mang Nganjuk tertawa renyah. "Palingan geng begituan mah sekali kamu tabok juga terguncang mentalnya, Ka. Tapi sepengetahuan Mamang, ada tiga orang yang bisa bungkam geng remaja incaranmu, cuma Mamang lupa namanya."

Ah ... jangan dulu. Buru-buru bangkit sodorkan uang lima ribu. "Ini uangnya, Mang."

"Loh, masih banyak burcangnya. Biar Mamang bungkusin." Malah ngulur waktu lagi. Namun, sayang banget hamburkan banyak duit tapi makanannya gak dihabiskan. Jadi aku menunggu sambil gigit jari. Lelaki setengah abad itu juga suka ngoceh sama Zeka, menyebut bahwa salah satu dari tiga orang yang disegani banyak berandalan mirip denganku.

Emang kenyataannya banyak yang bilang aku paling seram!

"Makasih, Mang." Selepas terima pesanan, aku langsung tancap gas dan pergi sejauh mungkin. Jantungku berdebar pas dia cerita soal tiga orang tersegan pada Zeka.

Uwel benar. Aku harus berjaga-jaga dengan aparat keamanan seperti tentara. []

Pain Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang