Ya ampun. Otak saya mendadak masalah dalam menyusun kata-kata. Badan tegang. Mata tak kuasa memandang lawan bicara. Sialnya kala periksa ekspresi Zeka usai bilang begitu, senyum miring bin tatapan dingin sudah menyambut reaksi saya.
"S-suka–suka saya dong mau tanya soal begituan," kata saya nyaris gelagapan, langsung melengos hitung hidangan manis yang tersisa di rak saji. "Kamu mau tau gimana saya ketemu Arjuna, bukan?"
"Mau!" Akhirnya sanggup bernapas lega juga. Ngomong-ngomong, saya tergelak lihat muka Zeka yang antusias. Mirip Blacky----hamster kebanggan kakak.
"Dia datang ... saat saya bahas buku remaja ini."
****
"Kamu ... beneran Arjuna?" Entah berapa kali saya bilang begini pada lelaki yang duduk menunduk di tepi ranjang. Sengaja saya keringkan rambut dia dalam keadaan disanggul muncung, bisa lihat mukanya yang gelisah meski banyak luka. Pakaian yang saya berikan sekadar jaket hoodie dan celana tidur milik kakak----pernah suatu hari dia datang kemari buat temani saya jalankan bisnis ini.
"Bi-bisakah Deva ... tidak melihatku terus?" Permintaannya yang hampir tak bersuara buat saya tersentak.
"Maaf, saya terlalu terkejut lihat kamu." Jelaslah. Wong muka dia yang saya kenal jauh lebih tampan ketimbang Zeka malah berubah mengerikan. Maksudnya, kamu mau bersanding dengan sosok kerempeng macam dia? "Apa kamu lapar? Kebetulan punya kue sisa meski pegawai saya sudah kebagian satu."
"Bo-boleh ... kah?" Sekejap dia mendongak kemudian meringkuk lingkarkan tangan di perutnya sendiri.
"Tentu." Saya berikan tiga piring kue dan sandwich buah, tak lupa cokelat panas yang diharapkan buat Arjuna nyaman berada di sini. Menunggu Arjuna makan, saya kemas-kemas kafe sekalian balikkan status buka tidaknya kafe. Inginnya selesaikan tantangan bangun rumah bangket jahe. Namun, Arjuna jauh lebih penting.
Makanya saya bawa material manis nan hangat itu ke kamar. Dia masih enggan bergerak dari zona nyaman. Makanan pun utuh dengan cantik. Apa yang dia pikirkan sekarang?
"Kenapa tidak makan?" tanya saya diam di meja yang biasa dipakai baca buku sepuasnya. Tangan ini siap bangun rumah idaman anak kecil saat hari natal tiba.
Dalam titik bayang, lelaki itu malah merunduk makin dalam. "Aku takut ... Deva minta aku bayar atas kue ini."
"Makan saja, jangan banyak bacot."
Sini saya lihat apakah dia mulai bergerak usai didamprat secara halus. Arjuna mulai meraih sepiring crepe cokelat begitu selesai tempel perabotan rumah dari kembang gula. Sepiring strawberry shortcake tandas setelah bangunan rumah bangket jahe berdiri kokoh, saya siram dengan permen pasir warna putih di sekitar dinding. Sepotong sandwich buah dimakan kala saya baca senandika, tapi kecepatannya mulai melambat.
"Deva tak mau makan?"
"Saya tidak makan."
"Tapi...."
"Makan semua sebelum saya siksa kamu lahap roti dalam sekali telan," potong saya melirik kasih ancaman.
"B-baik!" Bertambah lajulah dia makan kue sisa. Cukup cokelat panas untuk ganjal perut saya. Ingin habiskan rumah imut ini, tapi sadar diri betapa lelahnya buat dekorasi kue tak berguna macam gingerbread's house.
"Selesaikan makannya, saya greget pengen eksekusi kamu," kata saya bangkit meneguk sisa minuman pelepas stres hingga titik penghabisan. Terlihat dia menatap gelisah----keluar air mata pula. Berabe nih urusannya.
"A-aku beneran minta maaf kalau perbuatanku di masa lalu menyakiti hati Deva," katanya terisak. Sudah saya duga bakal begini. Nasib punya mulut bandel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Between Us
Genel Kurgu8 tahun telah berlalu. Satu per satu telah menjadi sukses, termasuk Zeka yang baru bisa pulang dari kegiatan mengabdi pada negara. Banyak harapan yang ingin ia wujudkan begitu sampai di daerah kelahirannya, tapi semua itu berujung penuh teka-teki. A...