2. Venchy

10 5 0
                                        

"Mau ke mana kamu pagi-pagi begini?" Seketika langkahku terhenti dengan perangai macam maling yang tertangkap basah. Mana yang ada di hadapanku justru lelaki jangkung nan tegap berstatus tentara, menatap sangar pula meski berkeringat. "Ini masih jam 5 lho. Gak masalah kalau kamu mau jogging----"

"Mau kerja di kafe," potongku mendesah gusar. "Aku harus kerja lembur. Selama pulang sekolah, aku hanya kerja paruh waktu. Dan asal kau tau, dapat izin buat jemput abang kemarin aja aku anggap hoki saking susahnya minta izin."

Kulihat dia melotot tak percaya. "Kenapa kamu sekolah sambil kerja?"

"Biasalah, Bang," jawabku mengerling malas. "Anak yang ditelantarkan."

"Kasihan adek abang yang satu ini." Tangan besarnya datang mengelus puncak kepalaku. Aish, habis berantakan rambutku yang diikat ekor kuda. Namun, setidaknya senyum lebar Bang Zeka adalah moodbooster-ku setelah anime. "Abang antar kamu ke kafe. Sekalian abang mau jalan-jalan sambil makan bubur ketan di mang Nganjuk."

"Ih, beliin satu buat aku!" Enak aja Bang Zeka traveling jelajahi kuliner sedangkan aku kerja dari pagi sampai larut malam! Lantas aku gembungkan pipi. Aku yakin, hati Bang Zeka pasti luluh dengan jurus ini. "Sekarang abang gak beliin bubur ketan, berarti abang gak sayang aku."

"Apaan sih sama Enci versi perawan ini?" Bang Zeka tergelak dan aku suka. "Pasti abang beliin. Tapi kamu kudu izinin abang buat nganterin kamu."

Kayaknya aku nyesel deh kasih jurus tadi, jadi kujawab "Iya."

****

Mau berangkat pagi buta pun tetap aja telat datang, walau Bang Zeka udah tambah kecepatan maksimal. Yah, emang dasar motor jadul. Udah gitu, aku harus tunggu Bang Zeka ngantri di warkop demi dua bungkus bubur ketan. Dan di sinilah aku, menghadapi wanita berambut seleher----aku suka sama efek ikal di ujung rambutnya----yang berdiri di ambang pintu sambil melipat tangan di dada.

"Telat untuk kali sekian," katanya dengan tatapan menohok. Aku akui beliau cantik banget, andai aja kalau dia murah senyum. "Padahal kemarin kamu udah janji untuk datang tepat waktu."

"Maaf, Mbak Deva." Caraku menunduk pun adalah jurus andalan para pegawai terhadap atasan. Biasanya Mbak Deva bakal bilang "Saya tak peduli kamu mau minta maaf beribu kali tapi tetap telat" atau "Percuma kinerjamu bagus kalau sering sekali telat datang". Tapi, yang kudengar justru....

"Zeka?" Aku langsung mendongak tak percaya. Maksudku, kok Mbak Deva bisa kenal Bang Zeka? Tatapannya juga berubah membulat, segera mendekati lelaki di sampingku. "Ini beneran kamu, Ka?"

"Yah." Dia melengos singkat bersamaan dengan gedikkan bahu. "Seperti yang kamu lihat sekarang, Dev. Ah, maaf soal Enci. Dia gak salah, tadi udah desakin aku buat langsung ke sini. Emang dasar aku yang prioritaskan keinginan dari pada kebutuhan."

"Enci?" Kerutan Nampak jelas di dahi Mbak Deva. "Maksud kamu, Venchy itu adik yang sering kamu ceritakan pakai julukan adik kesayangan?" Oke, aku benar-benar tak mengetahui hubungan mereka berdua.

"Yep." Mendadak aku ingin diibaratkan sebagai nyamuk, yang datang mengganggu keakraban Bang Zeka dan Mbak Deva dengan manja. Malahan wanita itu mulai berbaik hati padaku dan minta buatkan dua cangkir teh. Biarpun dia kasih amanat untuk tetap bekerja sampai malam demi sebuah upah, entah kenapa kesannya Mbak Deva jadi lemah lembut dari segi ucapan.

Ini lebih baik ketimbang aku dibuat bete karena muka jutek Mbak Deva.

Sedikit demi sedikit tenagaku terkuras dengan bolak-balik hantarkan pesanan dan piring kotor. Tak jarang aku habiskan waktu untuk bersih-bersih sebelum Mbak Deva datang kasih ceramah. Namun, aku yakin dia gak bakal begitu. Diam-diam aku curi pandang pada dua manusia berumur jelang 30-an yang duduk di meja bar. Dari tatapan Mbak Deva, kayaknya mereka lagi bahas topik yang lebih serius. Maunya berpikir positif, apalah daya otakku menduga yang aneh-aneh. Jam istirahat tiba pun, aku terus perhatikan mereka sambil makan bubur ketan.

Pain Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang