"Lawanmu adalah saya, Nak." Kaki beralaskan wedges menendang bagian perut Mira, kemudian saya hantamkan muka dia ke lutut. Tekstur tulang yang retak amat merangsang kesenangan duniawi saya. Namun konsekuensi atas serangan tadi buat betis saya terluka. Kami saling menjauh meredakan rasa sakit.
"Apa ini?" Saya layangkan sorot mata mengancam. "Kamu sendiri yang menantang kami dan sekarang berbuat kotor dengan menggunakan senjata tajam dalam menyerang musuh?" Biarlah Mira terkejut dengan reaksi saya yang berjalan tanpa menghadapi sensasi denyut di titik luka. "Percuma kamu kalahkan saya, Nak. Tapi...."
Sekali kaki memijak, darah mengalir deras. Tinju jenis hook mengenai pipi Mira, berharap tulangnya juga retak macam hidung. Dia justru silangkan pergelangan tangan depan titik serangan saya jatuh. Hasilnya lawan terdorong mundur. Saya tak hilang akal supaya Mira tunduk pada saya. Pukulan uppercut lolos dalam lindungan silang itu, telak mengenai rahang bawah. Tak sampai situ, saya terjang muka----apa?
"Umurmu memang memengaruhi ingatan, ya?" Dia menangkap kaki saya. Salah satu tangannya acungkan pisau belati. "Jangan lupakan senjata tajam."
"Maka dari itu jangan andalkan senjata, sayang." Dalam sekali ancang, kaki satunya menggaet leher Mira. Kami sama-sama terjatuh. Tanpa ulur waktu saya buang senjata dengan kaki. Kalau sempat, saya hantam kepalanya. Dia mengaduh, senang masih merasakan sakit. Cepat-cepat bangkit mengambil pisau belati, inginnya saya lempar keluar. Tak kusangka dia masih bergerak cepat menyabet leher saya. Dalam posisi ini memang bahaya di dunia baku hantam. Sang lawan bisa lesatkan pukulan bertubi-tubi di punggung, bahkan memperkuat cengkeraman hingga terkesan mencekik tanpa ampun.
Saya masih bisa bernapas bila posisinya seperti ini. Tutup mata, tahan napas, jatuhkan senjatanya begitu saja sembari kumpulkan tenaga di tangan, baru layangkan serangan yang disuka macam pukulan siku dan membanting tubuh lawan ke depan. Peluang emas berhasil saya ambil: injak muka di tengah menarik tangan. Dia menggelepar macam ikan, ya.
"Bagaimana rasanya baku hantam, Nak?" Lepas pisau ada di tangan saya, Mira berhenti bergerak. Tangan yang saya tarik juga melemah. Mungkin tak sadarkan diri akibat injakan saya. "Beruntung kepalamu tak remuk. Sepeser pun tak besar kekuatan yang saya keluarkan saat kamu menggelepar tadi."
Dengan begini perkelahian selesai. Ambruklah saya di tempat. Banyak tenaga yang terkuras di anggota tubuh, khususnya tangan ini berakhir gemetar hebat. Sensasi inilah yang buat saya gila kala lagi doyan rebut wilayah bersama mereka berdua. Luka di kaki? Bodoh, sudah saya bilang kan tidak sakit?
"Mbak Deva!" Suara lantang pun takkan buat saya bergerak. "Saya sudah kalahkan----Mbak?" Bahkan tubuh ini kehilangan sensor sentuhan saat Bagas hadir depan mata dan menyentuh tubuh saya. "Mbak gak apa-apa? Astaga, lukanya! Biar saya obati."
"Tak usah," jawab saya nyaris berbisik. "Biarkan aja seperti ini."
"Kenapa dibiarin?" Tanpa seizin saya, Bagas rebut pisau lalu melemparkannya sembarangan. "Nanti infeksi. Saya gak mau Mbak sampai dirawat di rumah sakit cuma perkara luka kecil."
"Luka kecil, kan?" ucap saya menatap kosong. "Ini luka tusuk. Persetan obat-obatan...."
"Terus Mbak mau bilang kalau Mbak tusuk betis sendirian?" Sorot mata Bagas mulai nyalang. "Saya tau Mira pelaku atas luka menyebalkan itu."
"Bagas...." Mendesah panjang juga butuh perjuangan. "Bantu saya berdiri."
"Tentu." Dia menuntun saya berdiri dengan merangkul tangan ke lehernya. Setidaknya saya berhasil gerakkan badan lagi.
"Terima kasih." Saya lepaskan tangan dari rangkulannya. "Tak ada satupun anggota geng Semar yang bergerak?"
"Gak ada, Mbak," jawabnya terengah-engah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Between Us
Ficção Geral8 tahun telah berlalu. Satu per satu telah menjadi sukses, termasuk Zeka yang baru bisa pulang dari kegiatan mengabdi pada negara. Banyak harapan yang ingin ia wujudkan begitu sampai di daerah kelahirannya, tapi semua itu berujung penuh teka-teki. A...