Begitu kendaraanku berhenti, langsung bertanya. “Kamu diserang----“
“Iya!” pekiknya naik motor seenak jidat. Aku belum izinin kamu naik, oi! “Plis, selamatin aku! Bentar lagi mereka pasti tau aku di sini. Aku beneran takut, Gas.”
“Terus gimana keadaan----“
“Dia baik-baik aja!” potongnya memeluk perutku erat. Kan aku gak tau siapa aja yang selamat, jadi bingung kan kamu bilang gitu buat siapa. Mana tau yang kupikir Venchy selamat, nyatanya gak. “Buruan bawa aku pergi sejauh mungkin! Mereka nyeremin!”
“O-ke....” Pasrah dah ladeni cewek kayak Mira. Lagipula, aku yakin Venchy pasti bisa lindungi diri dan mbak Deva, dasar Uwel yang terlalu manjakan dia. Kendaraan roda dua ini melaju kencang seperti waktu cemas nyaris ketahuan Zeka gara-gara mang Nganjuk.
“Kita pergi ke mana, Mir?!” tanyaku menjerit di arus angin.
“Terserah!” Dia balik teriak tepat dekat telinga kiri----bagian itu paling sensitif terhadap suara. “Yang penting kita selamat dari geng Semar!”
“Emang mereka mengejar kita?!”
“Udah, turuti aja napa! Pikirin aku yang cemas ini!” Mendadak dongkol sama keegoisan Mira. Titik kesalku telah menyentuh puncak bila desah gusar keluar.
“Karena itu aku tanya, supaya bisa tau situasi dan lokasi yang tepat untuk bersembunyi!”
“Aku kan udah bilang takut! Kamu sama kayak cowok lain, gak peka!” Astaga.... Gemetar nada bicaraku lama-lama keseringan nahan amarah mulu. “Salah kamu sendiri kenapa gak pasang kaca spion? Kalau ada, kamu bisa cek belakang dengan gampang.”
Lah, benar juga. Aku terbungkam. Bukan sebab kalah debat sama Mira, tapi telanjur malas minta ini-itu dengan orang yang mentingin diri sendiri. Kami melintasi jalan raya. Bahkan saat berbelok, lutut kami nyaris bersentuhan dengan aspal. Serasa pembalap motor GP yang kasih penumpang sama doi.
Gak-gak, hatiku masih terukir nama dia. Bukan ‘dia’ Mira.“Buruan kasih tau, tempat yang aman di bagian mana? Biar kita sembunyi sambil rehatin motor!” Demi apapun, aku takut ban motor pecah. Plis, Mir. Kasih pengertian!
“A-aku gak tau!” Ayo dong, jangan bikin mulutku keluarkan kata-kata kasar. “Memangnya kamu tau tempat yang bagus buat bersembunyi?”
“Napa lu nanya gua, b*ngsat?” Nah kan. Susah kalau begini mah. “Lu sendiri seenak jidat naikin motor gua, berarti lu yang mesti cari tempat aman! Gimana sih lu jadi orang?”
Gak ada balasan. Fix, dia takut----aku lebih senang sebut dia mental breakdown----sama omonganku. Nyesel bilang gitu, kapan-kapan minta maaf. Seharusnya aku gak bilang kayak gitu pada seorang cewek. Kami memasuki daerah perkotaan. Tampak sebuah gedung terbengkalai dengan material untuk perbaiki bangunan itu. Mobil berbobot berat modelan truk pengangkut dan pengolah semen pun lenyap, mungkin jam kerja telah selesai. Sore menjelang magrib juga.
“Kita bakal selamat, Mira.” Supaya mengurangi ketakutan dalam diri mira, kueratkan tangan dia yang melingkar di perut. “Peluk aku erat-erat, secepatnya kita ke sana jika kamu pengen sembunyi.”
Dia menurut, mulai eratkan dekapannya. Jarum pada spidometer yang semula menunjuk angka 20 kini menuju 60. Kami masuk ke gedung itu bersamaan dengan motor, mumpung petak paling bawah adalah bagian paling gelap.
“Turun lalu ikuti aku. Ngerti?” Lagi-lagi Mira menurut. Kubiarkan kendaraan kesayangan ditaruh di situ, sementara kami periksa keadaan bangunan mati ini dengan bantuan sorot lampu flash dari ponsel. Keadaan semakin gelap, kami berpijak dari ruangan satu ke ruangan lain. Namun, entah kenapa lihat Mira makin ciut nyalinya bikin jantungku berdebar-debar. Tetap positif, Bagas. Ini efek teror geng Semar. Bukan maen emang. Akhirnya kami berteduh di lantai empat, menetralkan kadar kecemasan lewat atur napas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Between Us
General Fiction8 tahun telah berlalu. Satu per satu telah menjadi sukses, termasuk Zeka yang baru bisa pulang dari kegiatan mengabdi pada negara. Banyak harapan yang ingin ia wujudkan begitu sampai di daerah kelahirannya, tapi semua itu berujung penuh teka-teki. A...