7. Deva

5 4 0
                                    

Kini di tangan saya terdapat kapas dan obat merah kemasan pak. Hah.... Benda paling benci setelah berurusan dengan bocah-bocah ingusan kemarin. Berkat mereka, dari pagi sampai sore keadaan saya yang penuh luka lecet membuat para pegawai kafe khawatir. Beberapa pelanggan juga begitu bila pesanannya saya tangani. Beginilah yang mereka lontar begitu kami bertemu:

"Aduh, Mbak kena hajar orang, tah?"

"Mau saya belikan obat gak, Mbak? Lukanya bikin muka Mbak gak cantik loh."

"Siapa yang gebukin Mbak, hah? Tak aing tonjok sampai mereka tobat dan minta maaf sama emaknya."

Jujur, ungkapan yang barusan saya sebut bikin ketawa. Senangnya mereka khawatirkan sang atasan yang tak punya ekspresi membahagiakan selain muka datar. Paling penting waktu itu Venchy belum datang. Bisa berabe kalau dia lihat pemandangan buruk ini. Balik pada cerita, dua barang yang saya ambil masuk ke keranjang berisi bahan masak di rumah. Tinggal cari keperluan kafe dan----

"Mbak kenapa?" Sekejap tubuh saya menegang sebelum mengetahui keberadaan laki-laki berseragam batik-celana kelabu tengah mendorong keranjang besi, saking waspadanya terhadap kehadiran Venchy. "Mukanya bonyok gitu."

"Saya ... kemarin kecelakaan," jawab saya setengah berdalih. "Untungnya cuma luka ringan. Kamu gak usah cemaskan saya, Bagas."

Iya, dia Bagas, cowok paling unik setelah Zeka. Terkadang hadir dalam kehidupan saya macam nyamuk yang berbekal puluhan soal tak berguna, tapi bisa menjadi seseram tatapan burung hantu bila saya samperi kamar kontrakannya. Aneh emang ini cowok, macam Zeka.

"Gimana saya gak khawatir kalau luka yang Mbak dapati kayak...." Gawat, dia tahu saya berbohong. Ayo, Dev. Cari alasan spesifik.

"Sebelum kecelakaan, saya berantem sama preman di jalanan," sela saya pura-pura meringis ketika elus luka di tulang pipi. "Segini mah mana sakit. Malam-malam mereka palak saya pakai embel-embel 'Ini jalan kita'."

"Harusnya Mbak abaikan mereka saja," kata Bagas melengos penuh sesal. Tunggu, sesal? Kenapa mesti pasang raut muka demikian? "Atau ... lapor ke polisi gitu? Dari pada Mbak ladeni sampai adu jotos."

"Saya paling benci sama orang sok berkuasa." Oke, kamu harus cari topik lain, Dev. "Kamu sendiri? Persediaan makanannya habis?"

Bagas mengangguk, tapi dia melengos dengan muka merah. "Mbak ... aku imgin ngomong penting sama----"

Waktunya kurang tepat. "Maaf, saya lagi buru-buru. Tadi saya melamun, makanya di sini terus."

"T-tapi, Mbak----"

"Jangan sekarang, Gas." Saya langsung berhambur ke kasir. Mesti antri pula.... Berulang kali saya gigit jari sambil lirik ke belakang. Bagas masih di sana. Namun matanya tak mengarah ke sini, sibuk pilih-pilih produk yang saya rasa tak ada perbedaan. Sial sekali hari ini, jarak kami terputus oleh kehadiran pelanggan.

Singkat cerita, saya sudah bayar barang. Cukup kuras uang buat pribadi yang cemas sama nasib anak orang di dunia bisnis. Beruntunglah saya punya pegawai pengertian. Pernah suatu hari, saya telat kasih gaji demi perbaiki jendela kafe akibat ulah berandalan ingusan. Tetapi mereka bilang begini:

"Tak apa, Mbak.Yang penting, kenyamanan pelanggan nomor satu."

"Ih, gak apa-apa telat gaji selama gue dapat kue sisa. Iya gak, gaes?"

"Aku makin gak enak hati kalau Mbak merasa bersalah baru kasih kita gaji 3 jam kemudian." Perlu kalian tahu, jangan remehkan waktu atau kamu kena karmanya. "Kita dikasih kue sisa aja terselip rasa sesal udah ambil kesempatan dalam kesempitan."

Kau tahu siapa yang bilang begitu? Binggo! Venchy bicara demikian dengan muka merengut. Untuk seorang pegawai kafe, jarang sekali punya sosok seperti Venchy. Akan tetapi, saya merindukan momen tersebut. Peristiwa telat gaji yang saya maksud terjadi setengah tahun lalu. Bukan berarti saya bakal ulangi kejadian itu, tapi berharap dalam kondisi apapun----kecuali titik bangkrut----mereka tetap ucapkan kalimat tadi.

Pain Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang