"Sekali lagi aku lihat kamu sakiti Vinci, dadamu yang aku remukkan." Seenggaknya aku gak harus turun tangan buat hajar mereka yang berlari terbirit-birit. Perhatianku kembali pada lelaki yang merengut di rangkulanku. "Inget! Pokoknya kamu harus ikut event yang Uwel kasih!"
"T-tapi kan----" Bodooo amat! Aku gak mau lagi dengar dia beralasan ini-itu, langsung tutup telinga. Terus Abang ke mana lagi? Sambil berdecak, aku lihat Uwel berbincang dengan seseorang di mobil yang suka ada di film aksi bertema militer. Mungkin aja itu Bang Eka.
"Ven, ada yang jemput kamu!" Tuh kan, benar. Masih dalam keadaan merangkul mangsa, aku pergi seret Vinci menuju mobil tersebut. Bang Eka muncul gitu aja sambil tepuk bodi pintu mobil.
"Belum pernah naik mobil beginian, kan?" katanya tersenyum sinis. Sialan.... Kalau dia bukan abangku tercinta, sudah pasti kubuat babak belur!
"Jangan pamer...." Tak lupa aku tunjukkan kepalan tangan. Kenapa hidupku yang damai ini berubah 360 derajat cuma gara-gara ada Bang Eka? Eh, waktu kecil juga penderitaanku hilang sejak Bang Eka peduli.
"Ven, kasihan Vinci kecekik." Refleks aku lepaskan Vinci dari rangkulanku. Nasib baik Uwel ingatkan aku. Mungkin sesusah apa nanti bila Vinci pingsan beneran. Aku tahu Bang Eka gak bakalan bantu. Sekarang juga dia ketawa sambil buat huru-hara, bukannya cemaskan Vinci yang batuk-batuk lalu cari air minum.
"Nih cowok temen kamu?" tanya Bang Eka menunjuk Uwel pakai jempol.
"Iya, namanya Daniel Riqquel." Kamu mau taruhan denganku? Aku minta segepok voucher kuota kalau dugaanku benar: dia bakal kesusahan panggil nama seindah Uwel.
"Dan ... apa?" Sip, kutunggu segepok voucher kuotanya. Dia mengernyit sambil mengerling ke mana-mana. "Anak zaman sekarang kok namanya belibet banget?"
Heh, ingat siapa yang kasih nama Venchy Mariana dan Vinci Da Mario tapi ujung-ujungnya dipanggil Enci dan Inci! Menyebalkan.... Lantas aku mendesah pasrah. "Panggil aja Uwel."
"Sip, aku panggil dia Uwel." Kebiasaan emang si Abang, pakai cengir segala. "Bukan Danil."
Ah, hampir lupa. "Soal kepulangan Abang...."
Yang terpanggil cuma menggumam singkat, tetap tersenyum manis layaknya playboy genit. "Abang beneran pulang karena statusnya lagi nonaktif?" tanyaku hati-hati.
"Iya, Ci. Beneran...." Bang Eka mengangguk, gak bakal berhenti kalau aku lupa ngomong. Tapi, entah kenapa firasatku berkata lain. Lebih lagi raut wajah Uwel nyeremin banget. Dia pernah bilang muka seram seperti yang Uwel pasang pertanda dia sembunyikan sesuatu. Entahlah, mode curigaku runtuh kala dia berkata.
"Sekarang kamu percaya, Uwel?" Kulirik lelaki berambut pendek belah tengah yang sekilas----mungkin----mengamati siswa-siswi. "Abang beneran pulang karena status tentaranya lagi nonaktif."
"Ya, dari kemarin aku percaya," jawabnya mengedik bahu samar-samar. "Kamu mau langsung ke kafe?" Ck, apa gak ada pertanyaan lain yang teramat butuh jawaban?
"Iya.... Kamu lihat sendiri aku gak bawa motor," ucapku sekenanya.
"Aku dan teman-teman datang ke sana sehabis magrib." Lepas itu, dia pergi tarik tangan Vinci. Aku baru ingat mereka ada janji belajar bersama, sebab sama-sama ikut seleksi olimpiade sains tingkat nasional. Uwel wakilkan kategori matematika, lain Vinci yang ambil kimia.
Mereka anak yang rajin, gak kayak aku yang doyan baku hantam. Aku gak bisa sebut diriku 'doyan' bertarung, melainkan 'nafsu'. Entah mengapa----
"Buruan masuk!" Aku langsung melatah. Hiiis! Udah teriak, diklaksonin pula! "Ntar dimarahi mbak Deva lagi."
Anehnya aku malah menurut. Duduk manis di jok penumpang dan mobil melaju tanpa komunikasi yang menemani perjalanan. Bila macam begini, aku merasa kayak penumpang ojek online. Perasaan kami berdua mengobrol dengan asyik waktu ketemu di stasiun. Kenapa hari ini ... canggung banget?
Kurasa waktu itu adalah kali pertama kami mengobrol ngalor-ngidul* setelah berpisah karena sebuah impian. Bang Eka bilang ingin aku hidup enak dan damai lewat perjuangannya di bidang militer. Tetapi, aku tak dapat menikmati hasil perjuangan dia. Aku malah dibuai rindu. Aku tertekan di bawah kuasa si monyet. Selama 8 tahun aku harus beradaptasi dengan keluarga tak sedarah, yang Bang Eka harapkan bisa menaruh perhatian padaku layaknya orang tua sungguhan.
Ah, aku berpikir sejauh ini. Tawaku nyaris terlepas, tapi Bang Eka punya pendengaran amat tajam. Bentar, waktu latihan bertiarap dengan bunyi tembakan, telinga dia bermasalah gak, ya?
"Apa yang kamu ketawain?" Syukurlah dia gak budek. Kayaknya gak sia-sia Bang Eka ikut akademi militer dan menjadi salah satu perwira. Dia glow up meski potongan rambutnya cepak gitu!
"Eh, aku teringat kejadian di kelas, Bang," kataku setengah mengelak. "Teman-teman aku pada habisin jam kosong buat tiktok-an. Mana jogetnya alay, cowok lagi. Tapi mereka bilang joget boka-boka challenge lagi nge-trend."
"Beneran? Abang baru tau loh." Dia tertawa kecil. "Kamu mau taruhan sama Abang?"
"Taruhan apa?"
"Soal kejadian di kelas. Suatu hari nanti pas reunian dan kamu nonton tiktok mereka semasa SMA, mereka yang waktu itu ikut joget kayak gitu langsung dikatain alay. Jika penalaran Abang benar, kamu harus traktir Abang bubur ketan dua mangkuk."
"Hilih, kan aku sendiri bilang joget mereka alay."
"Lah, iya juga." Kami serempak tertawa keras, persetan pengemudi lain melirik heran. Aku sangat rindu akan sesi ini, di mana percakapan yang menyenangkan bersamanya akan menjadi hal langka. Mungkin suatu hari Bang Eka mesti balik ke markas. Mungkin suatu hari Bang Eka berada di sana lebih lama lagi, sampai aku mulai berkeluarga.
Dan mungkin suatu hari ... Bang Eka membawa hal paling kubenci: pulang dalam keadaan gugur saat jalankan misi.
"Kita ganti taruhan," usulku diam-diam hapus air mata dari radar penglihatan Bang Eka----dia bisa lihat aku pakai kaca spion depan. "Jika Dia mau kabulkan permintaanku, aku ingin sesi percakapan kita selalu terhubung. Bila permintaanku terkabul, aku akan kuliah atau ... mewujudkan cita-citaku."
"Kalau Dia gak mau kabulkan permintaanmu?"
"Aku ... bakal memperdalam agama? Atau wajibkan diri untuk ambil jurusan psikologi."
Hal yang tak kuinginkan terjadi. Kami diam. Hening mendominasi. Lama-lama bunyi klakson dan deru kendaraan jadi musik yang sering kedengar sepanjang hidup.
"Kau takut aku pergi untuk selamanya, Venchy?" Spontan aku mendongak sambil melotot. Bisa-bisanya Bang Eka tenang begitu, tersenyum seperti biasa. "Kau simpan ucapanku baik-baik. Aku takkan pernah tinggalkan kamu, karena kamu adalah sosok yang tak akan pernah kutemukan sifatnya, mau kamu banyak masalah sekalipun.
"Venchy adalah adik paling menyenangkan yang pernah kumiliki."
Berhenti....
Mataku mengabur. Kala berkedip, setitik air mulai basahi pipi. Bulir asin ini keluar berkat dia, bukan aku."Kau pasti mengetahui maksud dari namamu," tambahnya bergelagat misterius. "Sudah sampai----" wajah semringah Bang Eka langsung lenyap dalam sekejap. "Kamu kenapa nangis?"
"Gak!" Buru-buru kuhapus air mata yang tiada henti mengalir. "Aku baper baca manga Tokyo Revengers. Mikey malah terbunuh di depan mata Takemichi, kata-katanya bikin emosi!"
"Lah, emosi kok malah nangis?" Tiba-tiba dia menyeringai lebar. "Kayaknya aku gak perlu nebak."
"Diam ah!" Aku gak bakal toleransi soal muka jahil Bang Eka. Titik! []
*ngalor-ngidul: ke mana-mana
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Between Us
Narrativa generale8 tahun telah berlalu. Satu per satu telah menjadi sukses, termasuk Zeka yang baru bisa pulang dari kegiatan mengabdi pada negara. Banyak harapan yang ingin ia wujudkan begitu sampai di daerah kelahirannya, tapi semua itu berujung penuh teka-teki. A...