Gue langsung tersedak dengar pertanyaannya. Tentu gue gak langsung jawab, melainkan terkekeh sumbang dan melanjutkan sarapan gak sehat ini, bodoh amat tuh cewek diam kayak patung. Bukan maksud gue pengen bohongi adik gue sendiri. Gue cuma gak mau Enci terlibat dalam misi selama di sini: menghapus era geng remaja.
"Aku masih nunggu loh, Bang." Tatapan Enci makin tajam menohok, tetap gak mau makan.
"Abang gak sembunyiin apa-apa, Ci. Status Abang sebagai tentara lagi nonaktif. Gak ada kerjaan yang sesuai. Beliau akhirnya ngasih abang cuti buat pulang. Gitu doang."
Gue gak sepenuhnya ngelak. Beliau----perwira yang ngasih gue misi----memang kasih cuti buat gue lepas rindu sama Enci dan mang Nganjuk, sebelum akhirnya aktivitas sehari-hati gue dicatat tiada ampun sebagai perkembangan misi.
"Berarti sewaktu-waktu Abang bakal balik ke markas kalau dapat penugasan?" Enci bisa lanjut makan. Aish, lucu banget waktu dia ngunyah. Pipinya tembam kayak marmut.
"Tepat sekali. Makanya tentara kayak Abang jarang balik kampung."
Singkat cerita, gue dengan semangat 45 menunggangi motor ninja butut. Entah kenapa gue jadi teringat kenangan bersama kendaraan roda dua ini. Dialah yang bawa gue keliling daerah bersama petinggi geng The Bad, saksi bisu atas tawuran penuh darah, bahkan dia bisa merajuk kayak cewek PMS di saat genting: mogok terus.
"Sekarang kamu milik Enci, kicik." Kadang banyak yang nertawain nama motor gue. Nama lengkapnya Kicik Balap. Menurut gue keren, tapi apa yang lucu dari nama Kicik Balap?
"Abang mau anterin aku?" Gue nyaris ngakak setengah mati waktu lirik Enci. Maksud gue, ini beneran Enci? Yang semula pakai seragam sekolah asal-asalan bareng celana olahraga, kini terlihat rapi banget niru siswi teladan. Yang semula rambutnya awut-awutan tapi mempesona, sekarang dikucir kepang dua.
Bahkan dia pakai kacamata segede dosa gue di masa lalu.
"Kenapa? Puas Abang ledekin penampilan aku?" Enci mengerling dongkol. Pada akhirnya gue gak bisa tahan tawa.
"Ngapain kamu pake meranin cewek cupu segala?" tanya gue sambil pegang perut yang sakit kebanyakan tawa. Sekarang juga tawa gue belum berhenti. "Mau sok nyamar kayak di film genre mata-mata?"
"Bodo amat!" pekiknya entakkan kaki. Serius, lo kalau gitu mulu bikin gue gatal pengen narik-narik pipi lo, Ci. "Buruan anterin aku ke sekolah! Hari Senin ini!"
Ah, gak nyesel gue pulang kampung. Ngomong-ngomong, ada alasan kenapa gue terpaksa berbohong pada Enci.
****
"Sudah lama tidak bertemu, Ka." Dua cangkir teh menjadi saksi pertemuan gue yang kebetulan ini. "Datang-datang badanmu gagah begitu. Gak sia-sia perjuanganmu."
"Ya," gue terkekeh singkat memandang Enci kewalahan di area meja pelanggan. "Kamu juga bikin aku kaget. Sekalinya ketemu, kamu udah jalani bisnis."
"Ini bisnis orang tua saya, Ka. Saya gak mau jadi anak yang bebanin orang tua." Deva dengan anggunnya minum teh sambil baca buku sekecil saku seragam dinas gue. "Kalau saya perhatikan juga, sepertinya gaya bicara kita udah beda jauh."
"Aku emang diminta untuk bersikap sopan pada wanita dan orang lansia, eh malah jadi kebiasaan."
"Saya suka dengan perubahanmu, Zeka." Deva tersenyum lembut. "Setidaknya kamu bisa kendalikan emosi saat berhadapan dengan musuh."
Tunggu, gue jadi teringat sama misi. Sudah masanya gue pergi, mungkin aja beliau nungguin gue di markas. Gue sempat minta ketemuan nanti malam sebelum beranjak pergi ke markas. Beruntungnya gue dapat Deva yang seakan tahu maksudnya: "Datang saja ke sini jika pembahasanmu memang melibatkan saya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Between Us
Fiksi Umum8 tahun telah berlalu. Satu per satu telah menjadi sukses, termasuk Zeka yang baru bisa pulang dari kegiatan mengabdi pada negara. Banyak harapan yang ingin ia wujudkan begitu sampai di daerah kelahirannya, tapi semua itu berujung penuh teka-teki. A...