"Lapor! Saya baru saja terima dokumen dari aparat kepolisian yang kebagian tugas analisa kasus!" Ada dua amplop cokelat dengan tebal sebuncit otot beliau pas pamer badan. Isinya buku tulis ala anak sekolahan yang dijadikan sebuah jurnal penelitian tentang kasus geng remaja sepanjang beroperasi, lantas gue baca secara seksama.
"Mereka sudah berbuat ulah sejak SMP, ya?" Gue ngangguk-ngangguk paham. "Semasa anggotanya masih berusia bocah, geng Darah Hitam yang kuasai kriminalitas remaja. Sekarang geng Semar yang cari masalah."
"Serius mereka gabung geng pas jadi ABG?" Orang yang ngawasin misi gue nyaris sembur minuman. Mana seinget gue beliau belum buka puasa sunah lagi. "Buset dah.... Gak sayang orang tua apa?"
"Menurutku wajar," kata gue mulai baca buku jurnal ke-2. "Masa umur SMP, mereka keponya ngalahin Dora. Tapi pengawasan orang tua lah yang makin menurun karena menganggap sudah besar otomatis jadi sosok mandiri. Toh, mungkin sekarang beberapa anggota menyesal gabung kelompok doyan tinju itu."
Dan gue mengalami semua. Tentang pahitnya lihat kawan mendekam di penjara, menderita di bawah naungan obat-obatan, bahkan dikekang ibu-bapak kayak burung dan paksa percikkan kebaikan palsu guna tutupi aib keluarga. Cuma perkara masuk geng modelan Darah Hitam dan Semar.
"Makin ke sini kamu jadi peduli terhadap masyarakat, Nak." Dia tentara pertama yang tau bahwa gue punya pengalaman hidup penuh darah. Adu jotos, kata-kata haram, sampai tapak ban motor yang bisa jadikan petunjuk bagi polisi supaya gue tertangkap. "Gak heran beliau kasih misi beginian sama kamu."
Lalu sang pemberi misi nyebelin ini pun tau soal masa lalu gue. Sialan emang.
"Sebenarnya aku muak sama misi ini," kata gue gak mau berpaling dari tulisan cacing kepanasan. "Bukan soal kasusnya, tapi lokasinya. Maksudku, kenapa harus di tempat aku punya kenangan pa----" ARGH! DASAR MULUT BODOH! TIDAK BERGUNA! BAJINGAAAN.... Gue langsung bungkam dan halangi muka pakai buku.
"Apa tadi?" Diam-diam gue curi pandang. Nahas disambut cengiran kuda. "Kenangan apa? Seorang Zeka Airlangga punya banyak kenangan?"
Semua orang juga gitu kali! Emang situ gak punya kenangan membekas di hati?
"Harusnya kamu bersyukur dong." Apa yang perlu gue syukuri selain tutupi soal misi ini sama Enci? Bisa ketemu sama teman lama? Hilih! "Kamu bisa puasin obati rindu sama orang tersayang."
Oke, ucapan dia menohok. Gue rindukan seseorang yang pengen gue lamar secepatnya kalau ketemu dalam keadaan jomlo bahagia. Dan hawa panas keluar bawa bau apek. "F-fokus sama misi!"
"Siap!"
PRANG!
Kami langsung berlindung dan tidak sampai terangsang amarah. Terdengar sorak di luar sana, mengagungkan nama geng kayaknya. Mereka bilang "GENG SEMAR!" atau "KALAHKAN TENTARA BAJINGAN!"
"WOI, ANJ*NG! MANA PEMIMPIN LO?" Salah seorang cowok berteriak lantang, disusul tawa penuh ejek. Kelakuan mereka udah kayak b*bi anjir. Gue nyaris balas dengan suara gak kalah gelegar macam geledek, tapi dia cegah gelagat gue dengan gelengan.
"Kamu masih ingat dengan materi khusus dari beliau?" Tepukan bahu sedikit demi sedikit mulai redakan emosi meski sumber suara negatif masih menggaung. "Kita bisa kalahkan mereka tanpa harus bawa emosi dan otot, Zeka."
Satu embusan napas pun usir amarah gue. "Kau benar...."
"TNI CUMA MODAL SENJATA! SINI ADU JOTOS SAMA KITA-KITA." Lagi-lagi seruan hebat penuhi wilayah markas, tapi kami tetap diam. Akhirnya deru motor tinggalkan asap putih yang bisa racuni pernapasan kami.
"JANGAN LUPA BACA SERANGAN KITA, ANJ*NG!" Sepi pun menguasai markas. Kami bergeming tatap jendela pecah karena lemparan kerikil. Paling parah adalah jendela kamar kerja gue, hancur gara-gara bongkahan bata yang diikat bersama secarik kertas. Gue ambil kertas itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Between Us
Ficción General8 tahun telah berlalu. Satu per satu telah menjadi sukses, termasuk Zeka yang baru bisa pulang dari kegiatan mengabdi pada negara. Banyak harapan yang ingin ia wujudkan begitu sampai di daerah kelahirannya, tapi semua itu berujung penuh teka-teki. A...