BAB XCIV

1.3K 182 3
                                    

Taehyung menoleh pada pintu kertas geser yang terbuka, menunjukkan sosok Jungkook yang sedang melepas jasnya dan melonggarkan dasinya dengan tergesa-gesa. Taehyung pun segera mendekati kekasihnya itu.

"Bagaimana? Kau baik-baik saja? Apa kata Ibumu?"

Jungkook mendesah panjang sebelum memandang penuh lembut pada lelaki berambut hitam legam itu. "Beliau menyetujuinya, tetapi... entahlah." Kemudian, Jungkook memberikan senyum paksanya.

"Baguslah," sahut Taehyung. Lelaki itu seperti menunggu Jungkook berbicara setelah dirinya memberikan respon, tetapi sayangnya Jungkook memilih duduk di sofa beludrunya sambil memejamkan matanya. Kening yang berkerut menggantung di kening Jungkook sangat bertolak belakang dengan umur Jungkook yang masih sangat muda.

Karena tidak kunjung mendapatkan sahutan, akhirnya Taehyung memutuskan dirinya untuk berbicara. "Beristirahatlah. Aku akan pulang."

"Kau akan pulang kemana?" ujar Jungkook yang masih dengan mata terpejam, suaranya terdengar sangat lelah.

"Err, ke rumah Namjoon dan Seokjin, tentu saja. Aku sudah tidak pulang dua hari, mereka pasti khawatir."

Taehyung lagi-lagi tidak mendapatkan sahutan dari kekasihnya itu. Meskipun ia sedikit kecewa tidak adanya ucapan perpisahan—atau Taehyung lebih berharap kecupan hangat sebelum ia pergi.

"Aku... pergi, Jeon Jungkook."

Taehyung pun berbalik menuju pintu keluar kamar Jungkook. Tetapi, langkahnya terhenti ketika suara lelah Jungkook memanggil namanya. Taehyung bahkan belum sempat berbalik untuk menjawab karena Jungkook sudah ada di belakangnya. Keterkejutannya semakin menjadi ketika Jungkook melingkarkan kedua lengannya di perut Taehyung. Erat sekali hingga Taehyung hampir tidak bisa bernafas, belum lagi deru nafas Jungkook di balik tengkuknya hampir membuat degup jantungnya berdetak lebih cepat.

"Ke-kenapa, Jungkook-ah?"

"Jangan pergi... Aku membutuhkanmu. Kaulah satu-satunya yang kubutuhkan sekarang, orang yang bisa menopangku di saat aku sedang kelelahan fisik dan mental seperti ini. Tinggalah lebih lama di istana, Taehyung. Setidaknya sampai upacara pengalihan takhtaku diadakan—tidak, jangan pernah tinggalkan aku lagi. Sampai kapanpun, bagaimanapun juga."

Semakin lama, nada lelah Jungkook digantikan oleh getaran yang memilukan. Belum lagi, deru nafas yang berbeda, seolah pelukan erat yang dilakukan Jungkook pada Taehyung tidak ada artinya—Jungkook dengan susah payah mengatakannya di antara isakannya.

Taehyung masih ingat ketika Jungkook terakhir kali menangis di balik tubuhnya, memeluknya dari belakang seolah memang memerlukan penopang di antara kesedihannya. Airmata lelaki itu jatuh deras, sepertinya tangisannya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Pelukan itu melonggar, itulah kesempatan Taehyung untuk memutar tubuhnya. Kali ini giliran lelaki berambut hitam itu yang memeluk erat kekasihnya itu. Taehyung meringis mendengar isakan pilu Jungkook, seolah ia bisa merasakan emosi yang dirasakan sang Pangeran. Emosi yang sudah lama ia pendam dikeluarkan sekaligus di dalam pelukan kekasihnya.

Malam itu pun Taehyung mengurungkan niatnya untuk pulang—atau ia tidak akan pernah pulang sesuai permintaan Jungkook padanya. Menepuk lembut lengan kekasihnya itu, mengecup kerutan stres yang amat terlihat di ujung mata sipitnya, memeluknya di atas tempat tidur sampai isakan Jungkook berakhir, sampai pada akhirnya ia mendengar deru nafas Jungkook mulai tenang, barulah Taehyung ikut tertidur lelap di samping Jungkook.

Sampai kapan pun, bagaimanapun, Taehyung berjanji untuk terus berada di samping orang yang sekarang satu-satunya yang paling ia kasihani.

[][][]

THE SELECTION [KookV] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang