Duodecimus

183 18 0
                                    

"Nah kan! Bodoh sih, udah tau ada hp. Dipake!" Sungut Putra setelah menjemput Deka yang sedang duduk lesehan di perempatan dekat rumah Ica.

"Yaa kan namanya orang lupa, he..he" balas Deka cengar-cengir sambil menggaruk tengkuknya.

"Mau kemana kalian? Katanya tadi mau ke LT, bener?" Tanya Ica setelah menatap 7 laki-laki ini satu persatu beserta barang bawaannya.

"Kok lo tau Ca?" Abi yang menanggapi pertanyaan Ica.

"Si kelinci pasti yang ngomong?" Potong Raga menebak siapa yang memberitahu Ica tentang tujuan mereka.

"Betul. Seratus buat lo Ga!"

"Iya ke LT. Jadi buruan!" Yuda menanggapi dengan wajah masam karena waktunya terbuang sia-sia hanya karena kelinci berotot yang tidak pernah punya inisiatif.

Ketujuhnya bersiap untuk pergi menuju ke LT yang terletak di bagian selatan kota, sedikit jauh memang. Perjalanan akan terasa panjang untuk menuju kesana, entah karena satu dan lain hal yang sampai sekarang tidak diketahui.

Mereka yang pernah kesana mengatakan jika bagian selatan kota disekitar LT seperti memiliki dunia nya sendiri, bahkan atmosfernya pun terasa berbeda. Ada yang mengatakan itu jauh lebih nyaman daripada di kota, dan ada yang mengatakan jika terasa asing.

Untuk perjalanan kali ini, masing-masing dari mereka membawa motor, err tidak. Kecuali Deka yang saat ini sedang duduk manis di belakang Rey.

Motor yang membawa mereka berjalan santai, diikuti dengan mereka yang menikmati pemandangan sekitar, tidak menyangka jika masih ada tempat yang asri dan rimbun seperti ini.

Sampai salah satu dari mereka memecah keheningan iring-iringan itu. Pengendara motor paling belakang ternyata yang berbicara dengan wajahnya yang terlihat pucat.

"Guys! Lo pada duluan deh, gue mau balik bentar." Ucap Raga yang membuat mereka berhenti di tepi jalan sepi itu.

"Kenapa?" Sahut Rey

"Gue rasa ada yang nggak beres. Telinga gue sakit. Lo duluan aja, ntar gue nyusul!" Setelah mengatakan itu, Raga langsung berbalik ke arah kota tanpa menunggu persetujuan dari temannya yang lain.

Hal itu sangat menimbulkan tanda tanya besar dikepala keenamnya. Tapi karena Raga sudah pergi terlebih dahulu, mau tidak mau mereka kembali melanjutkan perjalanan.

-

"Akkh pergi! Sakit!" Rintihan yang keluar dari mulut Jiwa saat sakit menyerang telinganya, berdengung semakin keras dari sebelumnya. Ini benar-benar membuatnya kesakitan, belum lagi pusing yang ditimbulkan sudah menjalar ke seluruh kepalanya.

Tangannya menggenggam erat buku yang menjadi alasannya berada disini. Semakin lama pandangan Jiwa mulai kabur ditambah air matanya yang terus turun tanpa dia perintah.

"Aakhh. Sial, huh huhh. Gue gak mau mati konyol kayak begini!" Jiwa mencoba melawan sakitnya kali ini. Meskipun dengan tenggorokkannya yang terasa tercekat.

Berdiri dari posisi jongkoknya, Jiwa melempar asal buku itu, otomatis tangannya terayun ke sisi samping badan. Hal aneh terjadi, tiba-tiba muncul api yang berkobar di tanah mengikuti ayunan tangan Jiwa tadi.

Apa yang terjadi? Mulut Jiwa terbuka melihat kejadian yang terjadi dihadapannya barusan.

"Hah?! Walaupun ini nggak masuk akal, kalo ternyata bener bisa muncul api lagi. Gue bakal coba!" Optimis Jiwa di tengah tengah kebingungan yang melanda. Telinganya masih berdengung, tenggorokkannya masih tercekat, tapi sebisa mungkin Jiwa berusaha untuk membuat dirinya terlindungi. Tidak ada yang bisa mendengarnya sekarang walaupun Jiwa berteriak sekencang mungkin, Jiwa sudah coba hal itu berkali-kali dan tetap tidak ada hasil yang ia dapat.

Bayangan hitam kembali melintas di depan Jiwa. Tidak hanya di depan, samping kiri dan kanannya pun sekarang bisa Jiwa rasakan ada sesuatu yang lewat dengan cepat.

Jiwa mengayunkan kedua tangannya ke depan hingga belakang tubuhnya, berhasil! Membuat dirinya terkepung di lingkaran api yang ia buat sendiri. Cukup untuk menghalau bayangan bayangan hitam itu, tapi bagaimana dengan telinganya? Tenggorokkannya? Tubuhnya sudah lemas sekarang, terduduk lesu di tengah kobaran api. Jiwa tidak bisa melawan lagi, matanya perlahan menutup dan tubuhnya hampir jatuh jika seseorang tidak memanggil dan menghampirinya.

"JIWAAA!"

Teriak seseorang dari kejauhan setelah turun dari motornya. Lari secepat mungkin ketempat Jiwa berada.

Tepat saat sebelum tubuh Jiwa jatuh menghantam tanah seseorang itu menangkapnya. Khawatir, takut, marah, semua tergambar jelas di wajahnya.

Dalam pelukannya, Jiwa terasa sangat lemas. Semakin mendekap tubuh Jiwa dan menepuknya perlahan supaya Jiwa tetap dalam kesadarannya.

"Ji, Jiwa bangun... ini Jiwa udah ketemu sama Raga. Disini Raga nyari-nyari Jiwa, dan akhirnya ketemu. Bangun Ji." Kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar bergetar, menahan semua emosi yang dia rasakan dan kembali menepuk pelan pipi Jiwa.

"Ra-ga?" Ucapan Jiwa diantara kesadarannya yang menipis.

"Iya, ini Raga. Raganya Jiwa"

-

"Bersiaplah mereka sudah dekat." Ucap Emi membuat Sashin menoleh kepadanya.

"Aku juga tau itu" jawab Sashin singkat dengan kerlingannya.

"Bisa lebih serius Tuan Sashin?"

"Pembawaanku seperti ini, harus bagaimana lagi aku?" Tanya Sashin kepada Emi yang tidak akan mendapatkan jawaban.

"Mereka datang. Bukalah gerbangnya!" Perintah Emi menggema di balkon lantai dua yang menghadap langsung kearah gerbang masuk.

"Bukankah sudah terbuka?" Tanya Sashin dengan santai.

"Gerbangnya bodoh, bukan pagarnya" setelah mengatakan itu Emi berjalan menuju halaman LT meninggalkan Sashin yang membulatkan mulutnya.

"Sangat cuek seperti biasanya, ckck" monolog Sashin dengan gelengan kepalanya pelan.

-

"Hei! dimana jalan masuknya si Yud?" Tanya Juna tak sabaran setelah mereka sampai di depan bangunan besar dengan pagar tinggi yang mengelilinginya.

"Harusnya ada disekitar sini"

"Hah! Jadi lo gak yakin?" Kali ini sang kembaran yang tak bisa sabar.

"Harusnya disini, tapi kenapa tidak terbuka?" Ucap Yuda dengan pertanyaannya itu.

"Jadi baku banget lo Yud! Kenapa dah?" Tanya Abi setelah menangkap perbedaan dari Yuda yang ternyata berbicara dengan bahasa baku. Tidak biasanya.

"Wah, halo. Selamat datang kalian berenam." Satu suara dari belakang membuat mereka semua melompat kaget. Bukan karena suaranya yang menakutkan, malah suaranya sangat lembut dan tenang. Mereka hanya kaget karena sebelumnya tidak ada siapapun disitu.

"Diam saja? Kalian tidak ingin masuk? Bukankah kalian menerima undangan LT?" Rentetan pertanyaan dari wanita itu semakin membuat mereka takut.

"Siapa kau?" Tanya Rey dengan waspada.

"Hmm, sepertinya temanmu yang diujung sana tau siapa aku. Masuklah lebih dulu, kemudian tanyakan padanya" ucapnya sambil menatap Yuda dan pergi berlalu begitu saja setelah mengatakan hal itu, membuat kelimanya menatap Yuda meminta penjelasan.

"Emi. Emi Earl, ayo masuk dulu" ucap Yuda kemudian melenggang begitu saja meninggalkan teman-temannya yang sekarang sudah memasang wajah tak percaya.

tbc-

PERSONALITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang