Yuri memang tidak menyukai kerumunan atau tempat yang berisik.
Namun dulu, Yuri tidak keberatan dengan itu semua. Seperti acara pesta atau datang ke konser musik, berdiri berdesakan hanya untuk Band favoritnya.Minju yang menyaksikan itu semua, dia jugalah yang menyadari perbedaan yang muncul saat Yuri harus mengalami masa sulitnya akibat penyakitnya.
Sebenarnya Yuri yang sekarang sudah lebih baik dibandingkan Yuri di dua tahun yang lalu. Ketika depresi dan rasa cemas berlebihnya selalu menghantui setiap saat.
Jadi jika Minju mengajaknya ke tempat yang sedikit ramai, ia tau Yuri akan menggenggam tangannya erat dan bahkan memeluk lengannya.
Seperti sekarang.
"Bentar lagi nyampe kok, tempatnya gak begitu penuh kayak disini. Sabar ya?" Minju setengah berteriak mengatakan itu, agar suaranya tidak kalah dengan riuh keramaian.
Ia melihat Yuri mengangguk pelan dan semakin mendekatkan tubuhnya pada Minju.
Kata Minju, sebagai hadiah karena tim Paduan suara menang lomba. Dia mau traktir Yuri makanan favoritnya yang kebetulan berada di Pasar tradisional dan inilah yang membuat mereka harus berdesakan.
"Nih, Mie ayam disini paling enak. Favoritnya Ibu dulu."
Minju dengan senyuman lebar menunjuk gerobak pedagang Mie Ayam dan menarik Yuri masuk ke dalam sebuah tenda yang di dalamnya tidak banyak pengunjung.
Seorang Yuri yang terbiasa makan di restoran dan selalu di tempat yang bersih, hanya mengikuti Minju dari belakang. Ia duduk di kursi plastik yang sudah tersedia, lalu menatap Minju yang masih terlihat girang.
Maklum saja, keluarga Yuri adalah keluarga yang berada. Sedangkan Minju hanyalah seorang anak perempuan dari Keluarga yang sederhana, tidak kurang dan lebih.
Yuri dulu selalu diajak ke restoran dan bahkan restoran berkelas yang biasa di datangi oleh pejabat, tapi Yuri gak merasa jijik kok di ajak Minju ke tempat seperti ini.
Dia sudah terbiasa, mungkin karena Minju juga sering mengajaknya makan di pinggir jalan seperti ini.
"Gue pesen dulu ya. Lo mau minum apa?""Es teh manis aja."
"Pokoknya lo mesti makan yang banyak, tenang gue yang bayarin."
Yuri hanya tertawa pelan dan menggeleng, Minju sudah bawel semenjak ia selesai lomba Paduan suara. Karena kurang lebih seminggu, Yuri harus menjaga makanan yang ia makan karena tidak mau performa suaranya jelek atau kurang maksimal.
Jadi ia banyak mengurangi makanan berminyak dan memilih untuk mengonsumsi buah dan sayur. Terutama salad dan minuman herbal.
Sembari menunggu pesanan mereka datang, Minju yang duduk tepat di hadapannya mulai menceritakan bagaimana dulu ia sering ikut ibunya ke pasar dan mampir ke sini."Setiap Sabtu atau Minggu pagi sih biasanya, karena kan libur tuh. Terus gue kalo gak diajak Ibu ke pasar pasti ngambek, rasanya kayak di khianatin gitu, eh malah jadi kebiasaan. Karena semakin kesini, Ibu malah ngandelin gue buat bawain belanjaannya yang banyak."
"Pantesan dulu lo jarang banget mau main kalo pagi-pagi."
Yuri menimpalinya dengan enteng, tertawa pelan melihat bagaimana Minju terlihat begitu semangat bercerita kenangan dengan sang Ibunda.
Meskipun Minju tidak pernah secara gamblang mengatakan bahwa ia merindukan Ibunya, Yuri pun tau, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam. Minju sebenarnya juga belum bisa menerima kepergian Ibunya yang begitu mendadak, satu-satunya sosok yang benar mencintai dan menyayangi Minju.
"Iya, soalnya seru banget ikut Ibu ke pasar. Gue juga kadang suka dikasih jajanan gratis sama pedagang di sini waktu masih kecil."
"Abang yang jualan ini nih, dia tuh anak dari yang punya kedai Mie ayam ini. Si Mbah Bedjo, emang sih waktu gue kecil beliau udah kelihatan tua. Jadi gak heran pas tadi dateng bukan Mbah Bedjo lagi yang jualan."
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAMIKA | MINYUL
Teen FictionJo Yuri - "Gue pengen narik lo keluar dari lubang masalah ini." Kim Minju - "Gue pengen kita berdua bahagia." Sepenggal cerita dari hubungan yang terbentuk di antara dua remaja dengan rahasia dan kisah kelam mereka. Tertutup rapih di balik topeng...