16. FOTO KELUARGA

293 47 13
                                    

Perbincangan Fahri dan Rindu hari itu di puncak berlanjut hingga waktu beranjak senja.

Mereka bercerita tentang banyak hal sambil berjalan kaki menelusuri jalan setapak di area perkebunan teh yang asri. Untungnya, cuaca hari itu cerah meski semakin sore, mendung semakin menyelimuti area puncak dengan awan tebal nan hitam di langit.

"Terus bagaimana perasaan kamu setelah menikah dengan suami kamu sekarang? Apa kamu bahagia, Rindu? Atau malah menyesal telah kabur dari rumah waktu itu?" tanya Fahri saat itu.

"Saya nggak pernah menyesal atas keputusan saya ini Pak. Saya bahagia hidup bersama Mas Bani meski serba kekurangan. Bagi saya, bisa melihat Mas Bani disamping saya setiap hari saja, itu sudah cukup membuat saya bahagia,"

"Sesederhana itu?"

Rindu mengangguk.

"Bahagia itukan memiliki porsinya masing-masing bagi setiap orang. Dan bahagia versi saya itu, nggak selalu harus menyangkut soal materi Pak. Walau hidup saya dan Mas Bani sulit dalam hal ekonomi, tapi kami optimis, suatu hari nanti kami bisa melewati semua kesulitan ini. Kami bisa bangkit perlahan-lahan dari keterpurukan. Saling bahu membahu dan bekerja sama demi mewujudkan rumah tangga sesuai impian kami. Mas Bani itu cinta pertama saya, Pak. Saya sangat mencintai dia. Rasanya, saya nggak akan bisa hidup tanpa Mas Bani kalau sampai takdir memisahkan kami,"

Fahri bisa melihat kabut kepedihan kembali membayang di pelupuk mata Rindu. Sungguh beruntung lelaki bernama Albani itu, bisa dicintai oleh perempuan setulus Rindu.

Seandainya saja, waktu bisa berputar kembali...

Fahri terkesiap dari segelintir pikiran bodohnya. Lelaki itu mengulum senyum seraya menggelengkan kepala.

"Sebesar itu cintamu untuk suamimu Rindu? Saya jadi iri dengan suamimu," ucap Fahri disertai tawa kecil.

"Iya Pak. Saya memang sangat-sangat-sangat mencintai suami saya dan perlu Bapak ingat, saya bukan tipe perempuan yang mudah dihasut apalagi mudah tergoda sama lelaki lain hanya karena mereka memiliki apa yang nggak dimiliki sama Mas Bani. Sama seperti cinta Bapak ke Mba Adelkan? Walau Mba Adel sudah mengkhianati Bapak, tapi Bapak terus berharap Mba Adel bisa sadar dan bersedia menjadi istri yang baik sesuai keinginan Bapak. Saya salut sama Bapak. Bapak bisa dengan mudah memaafkan Mba Adel, bahkan sebelum Mba Adel meminta maaf pada Bapak. Jarang loh, suami yang mau menerima kembali istrinya yang sudah jelas-jelas berkhianat. Kalau mungkin ada, bisa jadi satu dari seribu lelaki,"

Lagi-lagi Fahri hanya mengulum senyum.

Senyum pahit.

Kabut tebal perlahan turun mengaburkan pandangan seiring berhembusnya tiupan angin dingin.

Rindu merapatkan blazernya ketika rintik hujan mulai turun satu-satu.

Saat itu, Fahri mengajak Rindu berteduh di sebuah pendopo yang berada di tengah-tengah kebun teh.

Keadaan sepi disekitar mereka membuat ke duanya kembali diliputi perasaan aneh.

Fahri yang memang peka membaca situasi, melihat Rindu yang kedinginan reflek melepas jas kerjanya untuk dia berikan pada Rindu.

"Eh, nggak usah Pak, saya nggak apa-apa kok," tolak Rindu sesopan mungkin

"Sudah pakai saja, nanti kamu masuk angin," perintah Fahri setengah memaksa.

Cukup lama mereka terdiam sambil menatap gerimis yang turun. Tatapan mereka mengawang jauh.

Rindu yang saat itu memikirkan suaminya yang kini sedang bekerja, sementara Fahri yang masih belum bisa berhenti memikirkan tentang fakta mengenai siapa Rindu sebenarnya.

SAUDADE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang