-6-

268 38 0
                                    


     
    Secangkir kopi telah tandas, sedangkan tugas tak kunjung selesai. Deretan angka dan garis saling terhubung. Membentuk suatu rumus yang akan menentukan hasil dari bilangan yang di cari.
   
     Tangan lentiknya menari di atas buku. Bergeser setiap pergantian kata. Sesekali menandainya dengan Stabilo berwarna. Tangan kirinya ia gunakan untuk menopang kepalanya. Seolah berusaha menahan nya agar tidak jatuh dalam dunia mimpi.
    
    Matanya mulai sayu. Rasa kantuk mulai menyerang. Gadis itu melepas kacamata belajar nya. Menyimpannya asal dan menggosok matanya kasar. Ayolah, tugas nya belum selesai tapi tubuhnya tak mendukung sama sekali.
   
    Drrrtt drrt
   
    Suara dering ponsel terdengar. [Name] segera melangkah ke arah kasur tempat ponselnya tergeletak. Nama salah satu anak buah nya terpampang di sana. Segera saja ia menekan tombol hijau dengan harapan tak ada misi sama sekali malam ini.
   
    "Ah kau ini mengganggu. Aku sedang belajar tau"  seru nya . Tak terdengar jawaban apapun dari sebrang sana.

     " Katakan ada apa" raut wajah [Name] berubah setelah menunggu anak buahnya berbicara selama 2 menit lamanya.

      " Anu bos, itu..." Lagi lagi pemuda di sebrang sana masih enggan untuk bicara. Takut dimarahi atasan nya mungkin.

      " Katakan cepat! Ada misi atau apa?" [Name] mulai menaikkan nada bicaranya akibat kesal.

      "Akise, tiada" lirihnya. [Name] termenung. Seketika bayangan pemuda bersurai senja itu muncul dalam benaknya. Suaranya yang selalu terdengar lembut dan ramah dalam pendengaran kini kembali ia ingat. Pemuda polos yang terjerumus dalam dunia gelap karena nya.

     " Dia dibunuh karena tak ingin membocorkan informasi tentang kita" lanjutnya. [Name] menghembuskan nafas pelan. Tak ada lagi alasan untuk menangis dalam hidupnya.

     "Informasi tentang apa yang mereka inginkan?" Tanya [Name] .

      "Tentang orang dari mafia kita yang sudah membunuh salah satu eksekutif mereka " [Name] membelalakkan matanya. Bagaimana bisa mereka tau kalau pelakunya berasal dari Mafia nya?

      "Bos itu kau kan?" Tanya pemuda di sebrang sana. Dari banyaknya mafia yang [Name] tau, Red Devils yang salah satu eksekutif nya Ia bunuh 2 hari yang lalu adalah mafia yang memiliki banyak musuh. Termasuk Carte Mafia tempat [Name] berada. Dan siapa Sangka Red Devils langsung menyadari siapa pembunuh nya.

     "Tetap awasi sekitarmu" Ucap [Name] tegas. Sedikit sedikitnya ia tau apa yang sedang terjadi saat ini.

      "Pemakaman nya di adakan besok. Aku harap bos bis€- aku tak akan hadir " ucap [Name] memotong ucapan bawahannya.

       "Tapi bos- kubilang aku tidak akan hadir!" Tegas [Name] lagi. Entah apa yang akan terjadi jika [Name] hadir disana nanti.

      " Tap-" sambungan telepon diputus sepihak. [Name] sudah tak mau lagi mendengar suara Anak buahnya.

      Kepalanya mengadah. Terpejam seolah berharap agar semua beban di pundaknya bisa hilang seketika. Jujur sejujur jujurnya, ia lelah dengan kehidupanya. Setiap malam menyaksikan jeritan dan teriakan kesakitan dari korban nya. Bohong jika [Name] berkata bahwa dia bahagia saat melihat cairan kental berwarna merah itu perlahan merembes dari baju korban nya.

     Setiap hari harus bertaruh antara hidup atau mati. Setiap hari menggenggam pistol untuk perlindungan diri. Dan setiap hari  dirinya dituntut untuk siap, siap membunuh, atau terbunuh.

      " Sudah kubilang kan? Dunia ku terlalu kejam untuk orang sepertimu" lirihnya. Air mata sudah tak dapat lagi ia bendung. Mengalir begitu saja tanpa izin. Seolah meledek janjinya pada dunia bahwa dia tak akan menanis sepanjang hidupnya.

      Di samping semua beban nya, [Name] punya Akise, Pemuda polos dengan netra setenang Lautan. Membuat [Name] selalu merasa damai saat menatapnya. Pemuda yang selalu berada di sampingnya dan berkata dengan tulusnya bahwa dia akan menjaga [Name] hingga akhir hayatnya.

     "Kau benar benar melindungiku" Lirihnya

   'Bos nanti keburu tutup loh!" Seru nya menarik tangan [Name] supaya berjalan lebih cepat.

   ' sudah kubilang jangan panggil aku seperti itu' Gumam [Name] pelan. Akise, pemuda itu hanya tersenyum sambil terus menggenggam tangan [Name] erat.

     "Lagi lagi aku kehilangan orang yang berharga bagiku"

Drrrtt drrt

    Dering ponsel kembali terdengar. Dengan emosi yang belum stabil, ia menekan tombol hijau .

      "SUDAH KUBILANG AKU TIDAK AKAN MENGHADIRI PEMAKAMAN NYA KAN!!!" pekik [Name] tegas.

      " Ternyata benar kau" [Name] membulatkan matanya saat tau suara yang ia dengar tadi bukan lah suara anak buahnya. Ia segera melihat layar ponselnya. Dan benar saja, bukan nomor bawahannya, melainkan nomor tak di kenal yang terpampang di sana.

       "Pemakaman? Siapa yang meninggal?" Tanya seseorang dari sebrang sana.

       " Darimana kau mendapatkan nomorku?" Tanya [Name] ketus. Terdengar kekehan lembut dari lawan bicaranya.

      " Wali kelasmu menyuruhku untuk terus mengawasimu" Ucap Kita dari sebrang sana. [Name] mendengus. Bisa bisanya guru yang kelihatan garang bak singa betina itu menyuruh Anak dari kelas unggulan untuk mengawasinya. Lagipula apa yang salah dengan [Name]?

     "Boleh tau? Siapa yang meninggal?" Tanya Kita. [Name] menelan ludah nya kasar. Masih sulit untuknya mengakui bahwaa teman terbaiknya telah pergi meninggalkan nya.
    
      "Temanku" Kita tak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia merasa waktunya sangat tidak tepat untuk membicarakan tugas kimia yang diberikan wali kelas [Name].
     
     "Mau keluar?" [Name] terdiam sedetik kemudian tertawa terbahak bahak. Bisa bisanya Pemuda disiplin yang selalu pulang tepat waktu dan tegas itu kini mengajak seorang gadis keluar malam malam .
    
     "Hahaha, nanti kau dimarahi nenek mu" Ucap Name diselingi tawa. Kita menghembuskan nafas pelan.
    
     " Aku akan mentraktir mu kopi sebanyak apapun yang kau mau" Ucapnya . [Name] tersenyum, Kita terlalu kaku untuk mengajak seorang gadis keluar .
    
     " Di taman dekat cafe, aku menunggumu di sana" Ucap [Name] lalu mematiakan sambungan telepon nya .  Tidak terlalu yakin bahwa pemuda Bersurai Dwi warna itu akan menepati perkataan nya. Hanya saja ada sedikit harap dalam hatinya.

      Dingin angin malam menusuk kulitnya. Meski tak sedingin musim salju. Jaket ia pakai guna menghalau dingin.  Rambut ia ikat asal, dengan beberapa anak rambut yang tergerai bebas.

     Sudah sekitar 15 menit gadis itu menunggu, tapi orang yang di tunggunya tak kunjung datang. Dari awal dia memang tak terlalu berharap.

     " [Name]" suara lembut namun tegas itu terdengar ramah menyapa pendengaran. Gadis yang semula duduk di bangku taman kini bangkit dna berdiri di hadapan Pemuda yang sedari tadi dia tunggu.

    " Kau tidak tampak seperti orang yang baru saja kehilangan teman nya" ucapnya .

     " Itu bukan hal aneh dalam hidupku. Dan lagi bagaimana cara mu membujuk nenek agar dapat izin keluar malam hah?" Tanya [Name] mengejek.

     " Aku bukan anak kecil [Name]" Gadis itu tertawa pelan. Baru kali ini dia berhasil membuat Pemuda tanpa celah yang selalu menayangkan tatapan tajam itu bercanda.

    "Siapa yang mengizinkanmu memanggil nama depanku?" Tanya [Name] ketus.

    "Karena aku tidak tau nama keluargamu" [Name] serasa di tusuk panah tepat di kepalanya. Jadi selama ini orang itu tidak tau nama marganya? .

     "Kau akan menepati janjimu kan?" Kita Menganggu.

      " Sebanyak apapun yang kau mau" Jawab Kita.

    Malam yang cerah ini, kedua insan itu menghabiskan waktunya dengan jalan jalan. Mencicipi beberapa jajanan. Dan tentunya meminum kopi apapun makanan nya. Tidak sepenuhnya di traktir Kita. Karna [Name] juga sadar. Kita bukan Orang yang berkewajiban mentraktir nya meskipun ia telah berjanji.
    

     

     

Black and White [Kita Shinsuke x reader] {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang