Sang surya telah tenggelam sejak lama. Mengizinkan malam datang menggantikannya. Angin berhembus kencang, menerpa ranting dan dahan, tak lupa menggugurkan daun yang sudah tak memiliki kekuatan untuk bertahan.
[Name] berjalan pelan. Memegang dua cangkir berisikan kopi, dan menghidangkannya pada sang tamu.
"Minumlah, yang ini halal. Kubeli dengan hasil kerjaku di cafe" Ucap [Name ] menaruh kopi di atas meja.
"Maaf aku tak bisa membawamu ke rumah sakit. Seragamku penuh dengan darah. Jadi akan sangat mencurigakan jika kita pergi ke sana" terang nya. Kita hanya mengangguk fahamLukanya telah di obati. Tentu saja oleh [name]. Kini sudah baik. Lagipula bukan luka parah.
"Kau,, suka kopi?" Tanya Kita berusaha mencairkan suasana. Eh jarang sekali.
[Name] hanya mengangguk. Kita meraih gelas berisi kopi miliknya. Lalu menggenggamnya. Hangat, itulah yang ia rasakan.
"Padahal kopi itu tidak baik" gumam Kita pelan.
"EEHH? Kejahatan apa yang dia lakukan?" Pekik [Name] heboh.
"Eh maksudku, bukan begitu. Kopi itu mengandung kafein, itu tak baik jika di konsumsi terlalu banyak. Apalagi oleh remaja seperti kita" ucap Kita . Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. Sangat tipis hingga tak terlihat.
[Name] menatap jendela apartemen yang sengaja ia buka. Membuat angin bebas masuk meniup anak rambut nya. Ia tersenyum tipis.
"Hm, sangat cocok untuk ku yang memang bukan orang baik"Kita diam. Sedikit menyesali ucapan nya tadi. Mungkinkah ia telah menyinggung perasaan nya? Lalu apa yang harus ia lakukan?
"Ne, Shin, kau sangat mirip dengan kembaran ku" ucap [name] pelan. Sorot matanya meredup. Senyum tipis nya pun meluntur.
" Dia polos, baik hati, juga tak banyak bicara. Sangat mirip dengan mu " ucap nya lagi. Bola matanya menggulir. Menatap Kita yang berada tepat di depan nya. Cukup lama. Hingga Kita membalas tatapan nya.
Seketika netra Segelap malam itu bertumpuk dengan iris golden. Mengalirkan perasaan aneh pada keduanya. Seperti perasaan hangat, entah mengapa [name] merasa tenang saat menatapnya.
"Mau bercerita?" Ucap Kita memecah keheningan. Seketika tatapan kelam itu beralih.
"Kau mau mendengarkan ku?" Kita mengangguk.
[Name ] menarik nafasnya pelan. "Aku kembar. Kakak ku laki laki. Jika kau ingin melihat wajahnya, maka lihat saja aku. Aku juga punya adik laki laki. Umurnya 3, tahun lebih muda dariku" Ucap [Name]
"Kemana mereka sekarang?"-Kita
"Mereka semua sudah tiada. Mereka pergi tanpa membawaku bersamanya. Mereka menyusul ibu tanpa mengajak ku" Terang [name]. Suaranya terdengar lantang namun hampa. Seperti berusaha menutupi kesedihan yang ia rasakan.
"Aku tak bermaksud, maaf"-Kita
"Tidak, tanang saja. Baik adik maupun kakak ku, mereka semua dibunuh oleh ayahku. Ayahku seorang ilmuwan, beliau menggunakan tubuh kami untuk uji coba. Tapi karna sejak dulu tubuh ku lemah, dia tak pernah memakai nya. Yah, terkadang aku bersyukur karena itu"-[name]Kita masih fokus mendengarkan nya. Semua keluh kesah sang gadis. Alasan nya menjadi pembunuh. Dan semua penderitaan yang ia rasakan. Semuanya, semuanya ia dengarkan dan cermati baik baik.
"Ne Shin, aku iri padamu yang bisa hidup tanpa memegang pistol, setiap hari, setiap saat. Aku harus siap membunuh, atau bahkan terbunuh. Aku tak memiliki siapapun atau apapun. Aku tak punya tujuan hidup selain membunuh" [Name] menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Tangan nya menggenggam erat gelas kopi miliknya. Bahunya bergetar . Kepalanya menadah, berusaha menahan supaya air matanya tak turun.
Kita bangkit. Duduk di samping [Name]. Menggenggam tangan ringkih gadis itu erat. Menyalurkan kehangatan yang semula tak pernah ia rasakan.
"Menangis lah! Kau sudah berjuang" Ucap Kita lembut. Pertahanan nya goyah. [Name] berhambur memeluk kita. Menyembunyikan wajah nya di dada bidang sang pemuda. Wangi mint menguar di indra penciuman. Detak jantung nya seakan menyanyikan irama yang membuatnya tenang.
[Name] terisak pelan. Giginya mengerat menahan supaya suara isakan tak terdengar. Tangan nya mencengkram erat kaos yang Kita pakai. Meski begitu, kita tak sedikit pun melonggarkan pelukan nya. Biarlah gadis itu mengeluarkan semua keluh kesahnya.
Tangan nya terangkat. Mengusap lembut surai sang gadis. Menenangkan singa yang sedari tadi mengamuk dalam dirinya. Kaos yang ia pakai sudah basah ulah sang gadis. Entah air mata atau mungkin ingus nya. Kita tak tahu.
"Sudah tenang hm?" Ucap Kita begitu [Name] melepaskan pelukan nya.
"Urusai! Jangan lihat aku!" Pekiknya sambil menghapus jejak air mata yang membekas di pipinya.
"Sudah malam. Pulang sana! Nenek mu pasti khawatir" Ucap [Name ] terkesan mengusir.
"Kau sudah lebih baik?" Tanya Kita yang di angguki oleh [Name]
"Pulanglah. Vincent tak akan menyerangmu lagi. Yang tadi itu hanya kebetulan. Lagipula pria yang menyerangmu sudah mati. Dia takan melapor pada bos nya" Ucap [Name].
Kita mengangguk. Mengambil tas dan memakai kembali jaket nya kemudian berjalan menuju pintu. Ada rasa berat dalam hatinya. Namun entah keberatan atas hal apa.
Kita meraih knop pintu. Membukanya perlahan dan berjalan keluar. Belum dua langkah ia terhenti oleh suara sang pemilik rumah.
"Shin, Arigatou. Maaf sudah menceritakan cerita aneh seperti itu" Kita berbalik. Menatap lembut tubuh gadis itu. Lalu kembali berjalan pulang. Meninggalkan [Name] dengan kehampaan nya.
" Dia bahkan tak meminum kopi nya" ucap [Name] membersihkan meja. Dan menaruh gelas ke dalam wastafel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White [Kita Shinsuke x reader] {Tamat}
Short StoryHanya sepenggal kisah yang pernah terjalin antara aku dan dia. Berawal dengan pertemuan yang tak di sengaja. Dan berakhir?, entahlah. Hanya tuhan yang tau. Aku hanya bisa berharap. Semoga Dia adalah gadis pertama yang aku cintai, dan juga yang terak...