Setelah acara selesai, Lim mengajakku pamit ke Bu Shinta. Beruntung sekali jadwal dinas Lim ke Jakarta bertepatan dengan hari pernikahan Bu Shinta, sepupunya.
"Selamat ya, Mbak Shinta. Salam dari Mami dan Papi, maaf beliau nggak bisa datang, lagi ada dinas di luar kota," ujar Lim.
"Ya ampun, kamu bisa datang aja, Mbak udah syukur banget, Lim. Udah lama banget ya kita nggak ketemu. Kamu sekarang udah kaya aktor Korea aja gantengnya. Dulu masih imut-imut."
Lim yang dipuji cuma tersenyum salah tingkah, menampakkan lesung pipi yang menjadi ciri khasnya. "Lho, kalian berdua udah kenalan aja?" tanya Bu Shinta sambil memandangku.
"Hani ini teman dekatku sejak SD, Mbak," jawab Lim.
"Oh ... temen apa temen, nih?" goda Bu Shinta. Lim hanya tertawa sambil melirik ke arahku.
Aku berjalan mengikuti Lim ke parkiran. Sebuah sedan panjang putih bertuliskan BMW di ujung kap mengeluarkan suara saat Lim mengarahkan remote yang ada di tangannya. Ternyata dia sekarang sudah benar-benar berbeda, bukan lagi anak SD seperti yang kukenal dulu.
"Ehem ... benar tidak apa-apa kalau kuantar?" tanyanya sedikit ragu. "Maksudku ... tidak ada yang akan keberatan 'kan kalau aku mengantar kamu?"
Aku tertawa lalu menggeleng karena paham kemana arah pembicaraan Lim sebetulnya.
"Justru aku yang khawatir ada yang bakal marah kalau kamu mengantarku, Lim. Sulit dibayangkan orang seperti kamu masih single di usia segini."
Lim cuma tersenyum lalu membukakan pintu mobil untukku. Sesaat aku terkejut, selama ini tak ada yang pernah memperlakukanku seistimewa ini.
Di awal-awal perjalanan kami cenderung banyak diam. Aku pun merasa kikuk dengan situasi seperti ini. Daripada bingung kuputuskan untuk melihat-lihat ponsel yang sebetulnya tanpa tujuan yang jelas.
"Han, kenapa kamu enggak pernah membalas e-mail?" tanya Lim melirikku beberapa saat lalu kembali konsentrasi menatap jalan.
"E-mail? E-mail yang mana? Rasanya aku tidak menerima satu pun email dari kamu. Lagipula aku benar-benar jarang membuka email, kecuali untuk mencari pekerjaan. Aku pakai akun yang lain."
"Oh ya? Padahal aku yakin kalau e-mail terkirim dengan benar. E-mailmu masih sama kan dengan yang dulu?" Lim tak habis pikir.
"Iya, hanya itu e-mailku satu-satunya, kan kamu yang membuatkan untukku dulu." Aku pun mencoba membuka kotak masuk di akunku. Lalu kuperlihatkan kalau tidak ada e-mail dari Lim
"Coba cek di spam, Han," katanya lagi.
Aku terkejut, ada 496 e-mail yang masuk ke spam dan selama ini tidak kuhiraukan. Setelah kulihat hampir semuanya berasal dari "Salim Hadiwijaya".
"Ya Allah, ternyata ada, Lim. Ada banyaakk," aku berseru takjub. Dia hanya tertawa miris sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kukira kamu sudah lupa sama aku, Han, sampai tak satupun email yang kamu balas."
Aku pun meminta maaf dan mencoba membuka salah satu emailnya secara random, lalu membacanya dengan suara keras.
"Hai Hani,
kabarmu gimana? aku nggak peduli kalau kamu mau baca email ini apa nggak.
Aku cuma mau cerita kalau hari ini winter baru mulai.... suhu semakin dingin, sebentar lagi kolam di taman dekat rumahku akan membeku. Aku jadi inget... kolam tempat kita--"
"Sssst ... jangan dibaca sekarang, aku jadi malu," potong Lim tiba-tiba. "Karena enggak pernah kamu jawab, e-mail itu sudah kuanggap seperti diary saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Assistant
RomanceUntuk apa menikah? Bagi Arya, kehidupannya yang mapan dan ditemani segudang buku sudah lebih dari cukup. Buku adalah teman setia tanpa tuntutan yang tidak pernah berkhianat. Namun, dunia Arya mulai berubah sejak kedatangan Hani. Seorang asisten ruma...