The Other Side of Him

355 69 3
                                    


Ada yang bilang hidup itu seperti es batu, dipakai atau tidak, dia tetap akan mencair dan akhirnya habis. Begitu pula dengan usia kita, digunakan untuk hal yang bermanfaat atau tidak, dia akan terus berkurang dan berakhir pada masa yang telah ditentukan.

Kesibukan membuatku merasa waktu tiga bulan terakhir ini berjalan begitu cepat. Selain bekerja rutin di apartemen Pak Arya dan merawat Ibu, aku juga harus belajar keras untuk ujian TOEFL bulan depan. Mendapatkan nilai 550 bukan hal mudah buatku. Belum lagi tugas membuat ringkasan buku yang harus dikumpulkan ke bos yang perfeksionis itu setiap hari.

Pada awalnya aku kesulitan membaca buku-buku tebal berbahasa Inggris yang ditugaskan oleh Pak Arya. Apalagi bahasannya tentang manajemen dan pengembangan diri, tema yang asing untukku. Namun, ternyata lama-lama aku mulai terbiasa. Sekarang aku tidak begitu memerlukan kamus lagi selama membaca buku. Kecepatan membacaku juga semakin bertambah. Mungkin karena sudah terbiasa dan kosakataku juga terus bertambah.

Kalau saja Pak Arya tidak memberi tugas ini, mungkin aku tidak akan pernah berusaha dan mendapatkan hasil sejauh ini. Usiaku hanya akan berlalu begitu saja dengan rutinitas sehari-hari. Mengenal Pak Arya membuatku terus bertumbuh dan mulai mengubah pandangan tentang diriku sendiri. Aku merasa ingin terus meningkatkan kemampuanku dalam berbagai hal. Kadang kuberpikir, apakah Pak Arya juga mendapatkan sisi positif sejak mengenalku? Ah, tampaknya aku tak lebih dari sekadar beban saja untuknya.

Hari ini, aku membawa sebuah bingkai foto putih seukuran kartu pos yang kubeli di toko serba murah kemarin sore. Aku tidak tahu Pak Arya suka modelnya atau tidak, tapi sepertinya foto keluarga yang selalu kutemukan di bawah bantal itu selaiknya mendapat tempat yang lebih baik. Foto itu makin hari tampak semakin kusut. Sebelum mulai membersihkan kamar, kumasukkan foto itu ke dalam bingkai lalu kuletakkan di meja rias dekat cermin. Sehelai sticky note dengan tulisan singkat kutempelkan di bingkai foto itu.

Kutemukan selembar kartu nama seorang psikolog tergeletak begitu saja di meja itu. Tidak biasanya Pak Arya meletakkan barang tidak pada tempatnya. Apakah perusahaan alat tulis—tempat Pak Arya bekerja-- juga berurusan dengan psikolog? Atau Pak Arya sendiri yang membutuhkan jasa psikolog? Untuk alasan apa? Kupikir kehidupan Pak Arya sudah sempurna, seperti yang diidamkan oleh banyak orang. Berpendidikan tinggi, hidup mapan, dan juga ganteng. Ups ... ganteng? Astaghfirullah, apa sih yang ada di pikiranku? Semoga Pak Arya tidak pernah mengetahui isi kepalaku yang satu ini.

Akhir-akhir ini aku jarang bertemu langsung dengan Pak Arya dan tak pernah lagi mendapat komplain yang dulu kuterima setiap hari. Tugas ringkasan buku yang kutulis pun hanya mendapat komentar singkat saja dari pria itu. Paling-paling dia hanya menuliskan kalimat 'Good job, nice, semangat!' di setiap ringkasan bab yang kutulis. Apakah dia sesibuk itu sekarang? Eh, kenapa aku jadi tiba-tiba merasa kehilangan?

Tiba-tiba pesan WA dari Lim muncul seiring bunyi denting di ponsel-ku. Seperti biasa, pesan dari dia selalu membuatku tersenyum dan sedikit deg-degan. Akan tetapi, pesan yang kali ini benar-benar berbeda, membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.

[Han, dua minggu lagi aku mau ke Jakarta, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Tolong kosongin waktu, ya.]

[InsyaAllah. Kalau sudah sampai kabarin aja. Memangnya mau ngomong apa sih? Nggak bisa lewat WA aja?]

[Nggak bisa. OK sampai ketemu di Jakarta! Titip salam buat Ibu dan Arif.]

Hal sepenting apa yang tidak bisa dibicarakan lewat pesan tertulis? Kalau begini bisa-bisa aku susah tidur karena mati penasaran. Aku tidak berani menduga-duga, meskipun dalam hati diam-diam kuberharap menjadi lebih dari sekadar teman buat Lim. Perasaan yang telah kusembunyikan sejak lama, pada siapa pun. Dua minggu kedepan tampaknya akan terasa sangat lama.

Sering kali Lim mengirimkan foto-foto kegiatannya dan informasi beberapa universitas di kotanya. Entah apa maksudnya, yang jelas aku senang dan berharap suatu saat bisa benar-benar ke sana. Walaupun belum tahu bagaimana caranya. Harapan yang dulu sudah kukubur dalam-dalam sekarang muncul kembali ke permukaan dan bahkan lebih besar dari sebelumnya. Alhamdulillah, Pak Arya juga sudah membukakan jalan untuk mewujudkan impian itu. Sekarang tugasku adalah berusaha keras dan berdoa.

Sore hari sebelum pulang kerja, aku menyempatkan untuk mengerjakan latihan soal tes TOEFL. Tanpa kusadari dua orang pria sudah berdiri di dekatku. Pak Arya dan Pak Hendra.

"Wow ada apa ini? Sampai latihan tes TOEFL segala?" tanya Pak Hedra.

"Ini tugas tambahan dari Pak Arya, Pak."

"Tugas macam apa itu?" Pak Hendra tertawa lebar. "Jadi Arya sudah minta kamu melakukan apa saja? Kalau dia berani minta macam-macam, segera kontak nomor saya, ya! Dijamin dia enggak bakal selamat."

"Oi, gentleman macam gue bukan tipe seperti itu!" sela Pak Arya ketus, lalu berlalu menuju kamarnya.

"Saya melakukannya dengan senang hati kok, Pak," jawabku lagi. "Ya ... siapa tahu berguna di masa depan."

Pak Hendra duduk di kursi sebelahku. "Kamu beruntung bisa mengenal Arya, Hani, begitu pula sebaliknya" ujar Pak Hendra perlahan. "Jaga dia baik-baik, jangan disia-siakan ...." Wajah Pak Hendra tampak serius.

"Mak-sud-nya?"

"Suatu saat nanti kamu akan paham."

Pak Arya keluar dari kamarnya, dan telah berganti pakaian dengan yang lebih kasual. Kaos putih berkerah dipadukan dengan jeans hitam. Wangi parfumnya yang segar memenuhi ruangan dan juga rongga paru-paruku.

"Kalian sedang membicarakan apa?" tanyanya curiga.

"Ra-ha-si-a!" jawab Pak Hendra santai.

Pak Arya mendengkus pelan lalu mengajak temannya berangkat. Sebelum sampai di pintu pria itu membalikkan badannya ke arahku."Hani, terima kasih, ya. Frame fotonya bagus. Berapa harganya? Biar saya ganti."

"Eh ... enggak usah, murah, kok. Itu hadiah buat Bapak."

"OK, kalau begitu nanti akan saya ganti dengan hadiah yang lain."

"Ehem ... modus tuh kayanya, Han," ledek Pak Hendra sambil tersenyum usil.

"Oi, ayo cepetan kita keluar, makin lama omongan lo makin nggak bisa dikontrol!"

Aku cuma bisa tersenyum geli. Ternyata seorang Pak Arya yang kehendaknya sulit ditolak itu bisa juga dibully oleh orang lain.

My Sweet AssistantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang