But Life Must Go On

363 63 3
                                    

"Mbak Hani, ada yang nyari..." tiba-tiba Fina menepuk bahuku sambil berbisik. Aku menyeka air mata, lalu menyiram makam Bapak dengan sebotol air yang sudah kubawa dari rumah. Makam Bapak adalah tempat yang selalu aku datangi saat kalut. Rasanya bagai duduk bersama di beranda, seperti saat beliau hidup dulu. Plong rasanya seusai puas menangis di sini.

Aku mulai beranjak untuk menghampiri orang yang dimaksud Fina. Rasanya tak percaya melihat orang yang berdiri beberapa meter saja di belakang kami.

"Pak Arya ? Kok Bapak tahu rumah saya?" Aku masih terbengong, apa beliau cari dari CV?
"Ya, ada yang meminta saya mengantarkan ini buat kamu, dan dia mau memastikan kalau saya serahkan langsung kepada kamu." Pak Arya menyerahkan sebuah amplop coklat. Mataku langsung terpaku pada logo di kiri atas amplop itu. Sebaris kata yang sangat akrab bagiku, Hadiwijaya.

"Bagaimana bisa ada di Bapak?"

"Ada lelaki dengan rambut berantakan, wajah kusut masai, dan pakaian yang tidak bisa dibilang rapi tahu-tahu datang ke rumah saya. Kira-kira penampakannya sama kayak kamu sekarang!"

Mataku membulat, segera kubetulkan kerudungku dan kuusap muka, barangkali ada yang masih menempel. Duh, selalu saja harus repot kalau Pak Arya datang. Sekilas kulihat senyum tipisnya menyeringai. Huh bisa saja mengerjaiku di tempat seperti ini.

"Oh... Baik Pak, terima kasih. Oh ya, mari saya perkenalkan kepada Ibu saya."

Pak Arya mengikutiku menghampiri ibu yang duduk di atas kursi roda, beliau sedang menabur bunga-bunga di makam. "Ini Pak Arya, Bu, pemilik rumah tempat Hani kerja dulu."

Pak Arya mengangguk, Ibu balas mengangguk sambil tersenyum. "Pak Arya sudah makan? Ayo mampir dulu ke rumah."

Pak Arya kelihatan kaget, beliau pasti tidak biasa dengan penawaran ramah dari orang yang baru dikenal. Kelihatannya aku, Mas Lim, dan sekarang Ibu, benar-benar semacam shock culture buat dia.

"Oh, maaf saya harus segera ke kantor, Bu. Terima kasih tawarannya." Ibu tersenyum maklum. Tanpa berkata apapun lagi, Pak Arya berpamitan. Tapi tak lama, sebuah pesan masuk di ponsel.

Pak Arya : [Tadi aku menitipkan mint tea ke perawat ibumu, tapi tumblernya harus kamu kembalikan. Aku tunggu di kafe besok jam makan siang.]

Rasanya aku kembali jadi asistennya kalau begini. Huh.

***
Kalau bukan karena tumbler Pak Arya yang diberikan secara paksa kepadaku ini, mungkin aku tak akan masuk kerja. Melihat wajah-wajah prihatin para karyawan membuat mood ku tidak bagus. Apalagi aku sudah meminta Bu Rani dan Pak Rinto berhenti. Ternyata capek juga menyetir itu, belum lagi harga bensinnya, alamak.

Setelah duduk dengan nyaman, aku mengeluarkan amplop cokelat dari Mas Lim. Di ruangan kerjaku lebih banyak privasi, aku juga tidak mau Ibu kembali khawatir kalau-kalau aku malah menangis nanti. Rasanya berat sekali membuka amplop ini, tapi aku penasaran apa isinya.

Hatiku mencelos. Sertifikat kepemilikan kafe dan surat-surat mobil lengkap, surat kontrak perawat Fina selama 5 tahun, dan juga jaminan tanpa batas untuk perawatan ibu selama 10 tahun di RS terlengkap di kota kami. Aku mengembuskan napas berat, saat aku akan kembali memasukkan surat-surat itu ke dalam amplop, ada selembar kertas kecil yang meluncur.

Assalamu'alaikum Hani,

Aku tahu surat ini tak akan pernah bisa memenuhi segala keingintahuanmu atas apa yang telah aku lakukan. Sungguh-sungguh aku minta maaf atas keputusanku yang sepihak.

Setelah merenungi dalam-dalam, aku mulai paham seperti apa keluarga yang menjadi mimpi dan cita-citamu. Sayangnya, aku sudah berkali-kali mengecewakanmu sebelum ini, dan sayangnya, bila proses ini kita teruskan, mungkin lagi-lagi kamu akan kecewa.

My Sweet AssistantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang