Menjelang waktu makan siang, telepon di meja kerja gue berdering. Pak Wisnu, Sang Bos besar, meminta gue menemani petugas dari Kantor Pusat yang datang dari California. Sejujurnya, buat gue pekerjaan ramah tamah begini sama sekali tidak menyenangkan. Tidak peduli bagaimanapun suasana hati, gue harus memaksa diri untuk terus tersenyum kepada para tamu itu. Belum lagi harus menyiapkan selusin tema pembicaraan basa-basi dan juga sedikit bumbu humor untuk mencairkan suasana. It's just not me. Namun, menolak tugas hanya karena preferensi pribadi, sama sekali tidak profesional, bukan?
Seorang pria tampak sudah menunggu gue sambil membaca koran di lobby kantor, lantai dasar. Dia yang akan menjadi teman makan gue siang ini. Tampaknya masih muda, tidak seperti yang gue bayangkan sebelumnya.
"Maaf sudah menunggu, Pak," sapa gue sopan sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Dia menoleh ke arah gue, dan pandangan kami pun bertemu. Dari sebanyak ini rekan kerja, mengapa harus dia yang gue temani siang ini?
"Sepertinya kita sudah bertemu sebelumnya, ya, Pak Arya?" Pria muda itu menjabat tangan gue sambil menyebutkan nama lengkapnya. "Salim Hadiwijaya." Rupanya dia masih ingat nama gue. Argh ... gue nggak suka situasi ini.
Dua menit kemudian, kami sudah berada di mobil kantor untuk mencari tempat makan siang yang enak.
"Mau makan di mana?" tanya gue tak bersemangat. "Ada beberapa restoran yang tidak terlalu jauh dari sini."
"Hmm ... saya pengen makan pecel pincuk yang direkomendasikan oleh Hani. Dia itu penggemar pecel sejati, jadi rekomendasinya tampak layak dicoba."
Orang ini tahu betul makanan kesukaan Hani, dia kenal baik juga dengan keluarganya. Kemarin berlama-lama di rumah Hani. Apa saja yang dia pahami tentang asisten itu? Apalah gue, sebulan mempekerjakan Hani, tapi tidak banyak hal yang gue ketahui tentang dia. Tepatnya, gue tidak pernah bertanya apa yang dia suka dan apa yang tidak disukainya. Gue lebih fokus memikirkan diri sendiri dan menuntut Hani melaksanakan semua SOP yang sudah dibuat.
Gue menyetir mobil kantor dengan kecepatan sedang menuju warung pecel di daerah Jakarta Selatan. Lim tampak menikmati pemandangan di sepanjang jalan, setelah lima tahun tidak pernah pulang ke Jakarta. Kami banyak berbicara tentang produk terbaru yang akan di-launching bulan depan. Lim juga menceritakan beberapa desain produk alat tulis yang saat ini sedang hits di USA dan mungkin bisa dipertimbangkan untuk diproduksi di Indonesia.
Setelah lima belas menit, kami pun sama-sama terdiam. Stok tema basa-basi gue sudah habis. Seketika Lim bertanya, "Apa benar Hani bekerja sebagai ART di rumah Anda, Pak Arya? Dia banyak bercerita tentang Pak Arya dan juga pekerjaannya."
Apakah complaint gue setiap malam juga diceritakan oleh Hani? "Hmmm ... ya, bisa dibilang begitu."
"Sayang sekali, sebetulnya dia gadis yang cerdas. Sejak kecil prestasinya di sekolah selalu bagus. Seharusnya dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik."
Gue hanya menghela napas. Sebetulnnya hal ini sudah terpikir sejak awal mempertimbangkan untuk menerima Hani menjadi ART. Namun, kalau gue menolak dengan alasan dia seharusnya mendapat pekerjaan lain, bukankah itu justeru lebih tega lagi? Padahal saat ini dia sedang membutuhkan uang dan pekerjaan.
"Apa Anda punya solusi yang lebih baik untuk Hani, Mr. Salim?"
Cowok di sebelah gue itu tersenyum. Dari ekspresi wajahnya gue melihat rona bahagia ketika berbicara tentang Hani. Jangan-jangan memang ada hubungan istimewa di antara mereka.
"Panggil saja saya Lim. Tidak usah terlalu formal. Apa saya juga boleh memanggil Mas Arya? Biar ngobrolnya lebih enak?" tanya Lim santai.
"That's OK."
"Tentang Hani ... sebetulnya saya punya rencana. Tapi mungkin sekarang semuanya masih terlalu cepat. Ada beberapa hal yang perlu saya bicarakan dulu dengan keluarganya."
Berbicara dengan keluarganya? Apakah dia benar-benar serius mau melamar Hani? Ingin sekali rasanya minta penjelasan tentang maksud kalimat terakhirnya itu. Namun, gue lebih memilih bungkam demi harga diri. Tidak sepatutnya membahas hal seperti ini di tengah urusan pekerjaan. Lagi pula, apa perlunya gue kepo dengan masalah pribadi orang lain? Meskipun tidak bisa dipungkiri, gue merasa terusik dengan kedekatan Lim dengan Hani.
"Ah, tapi saya yakin, saat ini Hani sudah bekerja pada orang yang tepat." Lim kembali tersenyum.
"Bagaimana bisa yakin?"
"Ya ... Hani bilang, Mas Arya orang yang baik. Lagi pula, perusahaan kita tidak akan mungkin memilih sembarang orang untuk jadi Manajer R&D bukan?"
Gue cuma mengangguk. Lihat saja. Gue berjanji akan menjadi bos terbaik yang pernah dikenal oleh Hani.
"Your destination on the left side." Alat navigasi mobil ini menyatakan kalau kami sudah sampai di tempat tujuan. Syukurlah, pembicaraan basa-basi yang tidak menyenangkan ini akan bisa segera berganti topik. Membahas tentang kuliner akan jauh lebih menyenangkan tampaknya.
***
Langit sudah gelap, waktu gue sampai di apartemen. Lampu di depan pintu masuk menyala otomatis. Gue meletakkan sepatu di dalam lemari kecil yang menempel ke dinding. Buku Michelle Obama tergeletak di atas lemari sepatu itu. Tertulis nama Hani di halaman pertamanya. Sepertinya dia lupa membawa buku ini setelah mengambil sepatu ketika akan pulang.
Sambil beristirahat, gue membolak-balik halaman buku yang gue belikan di New York pekan lalu itu untuk Hani. Beberapa lembar sticky note sudah mulai tertempel di sana. Ah, gue selalu menikmati membaca catatan-catatan kecil ini. Sepertinya Hani cukup bisa memahami isi bukunya, meskipun dalam edisi Bahasa Inggris. Di halaman sepuluh, gue menemukan sebuah pembatas buku bergambar peta tempat-tempat wisata di California. Di bagian belakangnya ada sebaris kalimat tertulis dengan tulisan tangan yang rapi.
"All journeys have secret destinations of which the traveler is unaware." –Martin Buber-
Gue menutup buku tebal itu, lalu melemparnya ke atas kasur. Sambil terlentang, gue menatap langit-langit kamar yang putih, kosong tanpa hiasan. Menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan perlahan. Arya, what would you do?
"All journeys have secret destinations of which the traveler is unaware." Perjalanan gue mengenal Hani mungkin juga menyimpan rahasia Tuhan yang sampai saat ini gue belum mengetahuinya. At least, bertemu dengan Hani membuat gue jadi berpikir kembali tentang rencana hidup dan keputusan yang selama ini gue anggap sebagai pilihan terbaik. Sekarang gue harus memilih apakah akan terus hidup di bawah bayang-bayang masa lalu atau berdamai dengan masa lalu.
Ponsel gue bergetar, sebuah panggilan WA muncul di layar. Hani? Ini pertama kalinya dia yang menelpon duluan.
"Pak, maaf. Apa buku saya tertinggal di sana?"
"Buku? Buku apa?" Pura-pura tidak paham.
"Eng ... anu ... maaf, Pak. Itu buku oleh-oleh dari Bapak. Tadi saya bawa ke sana, tapi sampai di rumah saya cek tidak ada. Khawatirnya tertinggal di angkot."
"Oh. Kalau hilang, banyak juga kok yang jual di sini."
"Iya sih, Pak. Tapi di dalam buku itu ... ada pembatas buku oleh-oleh dari Lim."
"Hmmm ... jadi pembatas buku itu yang bikin kamu menelepon saya?"
"Iya, eh ... maksud saya kedua-duanya, Pak."
"Tenang aja, keduanya aman kok di sini."
Jawaban gue membuat Hani terdengar sangat lega. Rupanya pembatas buku itu begitu berarti buat dia. Bukan, bukan benda kecil itu yang berharga, tetapi orang yang menuliskan sebaris kalimat di belakangnya itu.
Gue tersenyum miris, menertawakan diri sendiri. Pada akhirnya benteng pertahanan hati gue mulai runtuh. Sayangnya, orang yang berhasil menerobos bukanlah orang yang tepat, karena hatinya sudah diisi oleh orang lain.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Assistant
RomanceUntuk apa menikah? Bagi Arya, kehidupannya yang mapan dan ditemani segudang buku sudah lebih dari cukup. Buku adalah teman setia tanpa tuntutan yang tidak pernah berkhianat. Namun, dunia Arya mulai berubah sejak kedatangan Hani. Seorang asisten ruma...