Bring Back the Memory

415 66 6
                                    




Pak Arya menyilakan aku dan Arif naik ke mobilnya. Aku tidak mengerti apa jenis dan merk mobil itu, yang pasti tampak baru dan elegan. Tugas lemburku hari ini adalah memilihkan buku untuk kado Pak Hendra. Tiba-tiba terdengar suara bip dan lampu merah kecil menyala dari arah dashboard mobil. Aku hanya diam saja, tidak paham dengan apa yang sedang terjadi.

"Kamu bisa pasang seat belt sendiri, kan?"

"Ah, maaf saya lupa, Pak." Aku segera memasang sabuk pengaman sebelum Pak Arya mengulurkan tangan dan memasangkannya untukku. Rupanya mobil ini akan terus komplain jika ada seat belt yang belum terpasang. Dalam beberapa menit, sedan hitam dengan interior yang sangat nyaman itu melaju ke toko buku Harapan Jaya.

Selama perjalanan kami lebih banyak diam. Hanya terdengar lagu Jepang yang mengalun lembut dari sound system mobil. Aku bingung membuka pembicaraan demi mengusir rasa kikuk. Rasanya naik taksi online jauh lebih nyaman ketimbang naik mobil mewah ini tapi bersama Pak Arya.

Kuputuskan untuk membuka buku oleh-oleh dari Pak Arya, kemudian menelusuri halamannya secara acak. Aku selalu suka dengan aroma buku baru. Memberikan sensasi seakan menantang kita untuk segera melahap habis setiap halamannya.

Sebenarnya aku merasa tidak enak menerima oleh-oleh yang harganya pasti mahal ini. Apalagi ditambah dengan skin care lengkap. Rasanya Pak Arya terlalu baik. Padahal aku 'kan cuma ART-nya. Semua pekerjaan yang kulakukan semata-mata memenuhi tugas yang sudah disepakati di kontrak kerja. Baru kali ini ada yang memberiku hadiah satu set perawatan kecantikan. Jujur, aku jadi merasa dihargai seperti seorang wanita.

"Sudah ada ide nanti mau memilih buku apa?" tanya Pak Arya sambil melirik dari kaca spion dalam.

"Hmmm ... ada beberapa alternatif. Seingat saya, dulu pernah ada pelanggan yang membeli satu set buku parenting, set tafsir Quran, atau buku referensi keluarga, untuk hadiah pernikahan."

"Nice idea. Selama ini saya nggak kepikiran mengoleksi buku-buku semacam itu, but maybe someday I'll need it. Sepertinya Hendra juga belum punya."

Dua puluh menit kemudian kami sudah masuk ke toko buku Harapan Jaya. Pak Karman, mantan bosku, langsung datang menyambut. Tidak banyak yang berubah di sini. Tatanan bukunya masih sama dan seperti biasa masih sepi dari pengunjung.

"Wah, rupanya Hani berhenti kerja dari sini, langsung ketemu cowok ganteng. Calon serius, nih, kayanya," komentar Pak Karman tanpa aba-aba melihatku masuk berbarengan dengan Pak Arya. Aku terkesiap, bisa gawat kalau Pak Arya mendengar semua ini.

"Eh, anu ... bukan--"

"Doakan ya, Pak. Semoga lancar sampai akad." Tiba-tiba Pak Arya memotong kata-kataku, dan memberi jawaban spektakuler. Dia menjawab sambil mengangguk dan tersenyum.

Aku menatapnya bingung, dengan bola mata yang hampir melompat keluar dari rongganya. Arif pun tampak melongo mendengar jawaban itu. Apa Pak Arya masih jetlag sampai ngelindur begitu? Baru kali ini juga aku melihat Pak Arya berbicara seramah itu. Apa dia selalu ramah pada orang lain dan tidak padaku?

"Alhamdulillah, bapak ikut senang, nanti jangan lupa ngundang-ngundang, ya! Semoga kalian langgeng dan rumah tangganya barokah," seru Pak Karman Semringah.

Pak Arya mengaminkan, sedangkan aku hanya bisa menyunggingkan senyum untuk menutupi kebingungan.

Pak Arya memutuskan membeli buku parenting dan tafsir Quran, masing-masing dua set. Katanya, satu untuk Pak Hendra dan satu set lagi untuk koleksinya sendiri. Arif mendapat hadiah satu novel dari Pak Arya karena sudah ikut menemani. Dalam sekejap, hampir lima juta rupiah berpindah dari rekening Pak Arya ke toko buku Harapan Jaya.

"Pak, kenapa tadi berbohong tentang status kita ke Pak Karman?" protesku pada Pak Arya sesaat setelah kami kembali ke mobil.

"Cuma pengen tahu aja gimana reaksi kamu."

"Eh? Maksudnya?

Pak Arya tertawa kecil, seperti menikmati kebingungan yang ada di wajahku.

"Saya nggak pengen orang-orang di luar sana tahu kalau kamu kerja jadi ART di rumah saya. Kamu tahu sendiri kan, sebagian orang masih memandang sebelah mata pekerjaanmu itu. Jadi, terserah mereka mau menganggap status kita seperti apa, teman, kolega, atau pacar pun OK."

"Maaf, Pak, saya nggak suka dengan status pacar."

"Oh ... jadi maunya status apa? Istri?" Pak Arya menatapku serius. Jantungku rasanya berhenti berdetak beberapa saat. Aku tidak melihat raut bercanda di wajahnya.

"Eh-anu-maaf, maksud saya bukan begitu ...."

"Yuk, kita pulang! Saya ngantuk, nih."

Sepanjang jalan kami sama-sama diam. Untung perjalanannya hanya lima belas menit. Pak Arya mengantar sampai jalan sebelum gang masuk ke rumahku. Aku tidak mau ada yang melihatku turun dari mobil mewah diantar oleh seorang laki-laki. Bisa ribut orang satu kampung nanti. Memang pada dasarnya kalau laki-laki dan perempuan bukan muhrim jalan bersama berpotensi menimbulkan fitnah.

"Han!" panggilan Pak Arya menghentikan tanganku yang akan membuka pintu mobil untuk turun. "Tempenya enak, seperti buatan ibu saya. Thanks ya."

Aku tersenyum, tidak pernah mengira masakan sesederhana itu bisa mendatangkan pujian. Pujian pertama dari Pak Arya dalam catatan sejarah hidupku. Sulit dipercaya tapi rasanya seperti melayang ke angkasa.

***

Malam harinya sebelum tidur, aku mengecek akun Instagram. Ternyata ada balasan DM dari akun @liemwijaya.

[Halo, Hani! Apa kabar? Udah lama aku nyari akun kamu tapi nggak ketemu. Taunya nggak pake nama asli ya? Oh ya, besok aku mau pulang ke Indonesia semingguan. Kalo udah nyampe sana, kita ketemuan, ya!]

[Jadi keluargamu masih menetap di Amerika ya, Lim?]

[Nggak, tinggal aku sendiri. Ingin cari pengalaman kerja dulu di sini, sebelum mengurus perusahaan keluarga. Mami dan Papi sudah lama balik ke Jakarta, tapi rumah kami sudah pindah.]

"Lim! Akhirnya aku bisa menghubungi kamu lagi!" Teriakanku di kamar sampai mengejutkan Arif—adikku--yang sedang belajar di ruang tamu.  Namun, aku tidak peduli, yang ada dalam hatiku saat ini hanyalah perasaan bahagia. Sebentar lagi akan bertemu dengan Lim dan dia masih ingat padaku. Ah, penasaran seperti apa wajahnya sekarang. Mirip Lee Min Ho atau Kim Seon Ho? Entahlah.

==============================================================================

Halo reader ... menurut kamu, Lim mirip siapa nih? Lee Min Ho atau Kim Seon Ho? :D

Jangan lewatkan episode selanjutnya yaa.... :)

My Sweet AssistantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang