Home

479 72 4
                                    

Setengah jam sebelum Adzan Dzuhur, acara ditutup dengan doa bersama. Khusus untuk ini, Ustadz Din, guru mengajiku sejak kecil sekaligus sahabat Almarhum Bapak memimpin. Masyaallah, hatiku sungguh bersyukur, hingga menjelang usai banyak tamu yang belum beranjak pulang. Semua duduk dengan takzim, mengikuti Doa Ustadz Din...
"Anandaku, Arya dan Hani. Mulai hari ini, kalian adalah pakaian bagi satu sama lain. Pasti ada kekurangan, pasti ada kelemahan, dan selalu akan ada ujian dalam kehidupan. Maka bersabarlah, saling jagalah, dan salinglah mendukung satu sama lain. Sesungguhnya tak ada satupun pasangan yang sempurna di dunia ini..."

"Ya Allah, sesungguhnya engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati berkumpul atas dasar cinta kepada-Mu; bertemu atas dasar taat pada-Mu; bersatu atas dasar dakwah kepada-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu.
Maka kuatkanlah yaa Allah, ikatan pertaliannya; lestarikanlah kasih sayangnya; tunjukkanlah jalannya; dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tiada redup; lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman kepada-Mu dan indahnya tawakal pada-Mu; hidupkanlah ia dengan makrifat kepada-Mu; dan matikanlah ia sebagai syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.
Barakallahu laka, wabaraka 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair... Aamiin Ya Allah."

Ditutup dengan 'aamiin' berjamaah, satu per satu para undangan pulang. Kulihat tim cleaning service yang sudah dibooking Pak Arya untuk membersihkan lapangan sudah bersiap, sehingga panitia bisa segera beristirahat usai Acara.

"Yuk, Pulang!" Pak Arya menggamit tanganku setelah tamu terakhir pulang. Tak ada pilihan selain menyambutnya, ternyata nyaman sekali ya bergandengan tangan dengan pasangan yang halal itu. Walaupun sepanjang jalan pulang kami tak henti-hentinya digoda warga kampung, tapi aku cuek aja deh. Begini toh yang namanya dunia milik berdua.

Mata Pak Arya terbelalak begitu kami sampai di pagar rumah. Jalan masuk ke ruang tamu tertutup tumpukan kado! Waah, aku senang sekali. Belum pernah aku mendapat hadiah sebanyak ini seumur hidupku!

"Pak Aryaa! Lihat, banyak banget kadonyaa!" seruku seperti anak kecil.

"Tapi, Han, piring bunga-bunga segini banyak, gelas, teko, wajan, mana ada tempatnya di apartemen saya!" Pak Arya malah kelihatan pucat pasi. Sebagian kado-kado itu memang dibingkis plastik tembus pandang, jadi tak perlu repot-repot membuka sudah ketahuan apa isinya. Hihihi, selain kebanyakan, yang pasti nggak matching dengan konsep desain apartemen Pak Arya!

Ibu rupanya sudah di dalam dan mendengar percakapan kami, "Tenang saja Nak Arya, tinggalkan saja di sini, pasti bermanfaat deh nanti buat banyak hajatan dan aneka acara di kampung ini," kata Ibu santai,

Pak Arya mengembuskan napas lega. Pasti karena tak harus memboyong semua kado itu ke rumahnya.

"Nah, kalau yang itu, sudah boleh Pak Arya boyong ke rumah Pak Arya sekarang." ibu menunjukku sambil tersenyum dan mengangkat alisnya.

Tapi, dibilang begitu, aku malah menghambur ke pelukan ibu dan memeluknya dengan erat. Separuh hatiku merasa berat sekali meninggalkan ibu, tatapi separuh hatiku juga tahu kini aku harus menjalani peran utama yang baru, sebagai Istri.

Ibu menepuk-nepuk punggungku. "Bismillah, insyaallah, Hani akan menjadi istri dan ibu yang baik. Hani Bisa. Ibu yakin itu."

Setelah ibu mengabari bahwa kami akan pergi, Fina segera menggeret koper yang sudah kusiapkan ke ruang tamu. Menyusul di belakang Fina ada banyak orang. Rupanya banyak yang sudah sampai terlebih dahulu sebelum kami datang.

"Wah, sudah siap jadi Nyonya Arya nih, Hani!" mbak Shinta muncul dan langsung menggodaku, di belakangnya ada Pak Hendra, juga Trio Bu Romlah, Bu Amat, dan Bu Bidin yang pasti setia menemani ibu sampai semua urusan rapi. Alhamdulillah, hatiku tenang karena ada mereka. Aku yakin ibu takkan kesepian karena aku pergi. Arif yang tadinya malas melihat Pak Arya juga tersenyum cerah hari ini. Bahkan Regina juga ada di rumah, dia memegangi kursi roda ibu. Tapi yang membuatku terkejut, ternyata dari dalam juga muncul... Lim.

"Lim?" ucapku spontan dan membuat semua lagi-lagi salah tingkah. Terlanjur basah, aku tanyakan saja rasa penasaranku yang mungkin terdengar konyol "Kamu nggak ada meeting hari ini?"

"Sebenernya aku dilarang pulang sama Bos feodal ini nih," cibir Lim ke arah Regina, yang dicibir balik menjulurkan lidah. "Tapi, yah gimana lagi, buat hari ini sih aku kadung cancel semua jadwal jauh-jauh hari... " Cara bicara Lim ternyata sangat santai, tidak kaku lagi seperti saat di pesta tadi. Ucapannya memang terdengar ngenes, tapi gayanya yang innocent sambil menggaruk-garuk rambut bikin Bu Romlah lagi-lagi menggodanya.

"Kasian banget nasib lo Lim, jadi jomblo dah lo sekarang. Udah dah lo sama anak gue aja noh, si Titi!"

"Titi? itu sih nama kucing Bu Romlah, enak aje!" Lim cemberut, tapi seisi rumah tertawa gembira. Syukurlah Ibu dikelilingi kebahagiaan seperti ini. Setelah berterima kasih, akhirnya aku bisa  berpamitan dengan hati yang ringan.

***

Mungkin karena lelah, Pak Arya tak banyak bicara saat menyetir, iseng-iseng aku buka laci di dashboard mobilnya. Ekor matanya tampak melirik ke arahku, sejenak aku juga kaget. Wah, kok aku lancang ya?

Untungnya, Pak Arya segera berkata, "Saya nyaris lupa, kalau sekarang sudah punya istri. Lanjutkan saja Bu, penggerebekannya," katanya santai.

Kepalang tanggung, ya sekalian saja kubuka. Ternyata di dalamnya ada sebuah kotak perhiasan,
"Ini apa, Pak?" tanyaku curiga sambil membuka kotak itu. "Wah, gelang mutiara."

Awalnya Pak Arya melirik kaget, tapi lalu  kembali bersandar santai  di joknya. "Oh, iya, dulu itu saya mau mau ngasih hadiah untuk seorang gadis, tapi nggak jadi..."

"Hah? kapan Pak? siapa?" pikiranku melayang kemana-mana, jadi sepertinya benar dugaanku kalau Pak Arya ini punya banyak mantan. Karena penasaran, sepanjang jalan aku tak henti-hentinya memaksanya menjawab. Sia-sia, tampaknya benar-benar si gadis ini sosok misteri!

"Sudah dong nanyanya, kita sudah sampai, nih!" Pak Arya mematikan mesin mobil. Dia langsung keluar saja, melengang sendirian. Ah tidak bisa begini, kebutuhanku untuk diberi layanan romantis harus kudapatkan dari suamiku sendiri. Aku memutuskan untuk tidak keluar.

Ya, apalagi yang kutunggu. Aku menunggu dibukakan pintu, lah.
Strategiku berhasil! Pak Arya sadar kalau dari tadi dia melengang sendirian. Dia datang membukakan pintu. Yay!

"Terima kasih, Pak."  Aku menghadiahinya senyum termanis di dunia.

"Hmm, Hani, karena kita sudah suami istri sekarang, kamu nggak perlu panggil saya Pak."

'Hehe, hmm... apa ya.. kalau 'Mas Arya', gimana?"

"Saya suka. Kalau gitu, saya mau panggil kamu 'dik Hani', gimana?"

"Hmm.... ada yang lebih romantis nggak?" kalimat itu meluncur saja dari mulutku. Kening Pak... eh, Mas Arya kelihatan berkerut. Jangan-jangan panggilan dik itu juga sudah disiapkannya berhari-hari!

"Ahh.. kalau... Honey...gimana? kamu suka?"
Aku terdiam sesaat. Kenapa dia memanggilku dengan panggilan yang sama dengan yang pernah diberikan Lim? jelas dia tidak tahu karena Lim hanya memanggilku begitu kalau kami sedang berdua. Tetapi... ada bagusnya, biar seiring waktu, memori dengan panggilan "Honey" itu melekat dengan orang yang memang berhak. Lagipula, aku sangat suka panggilan itu.

"Ya, aku suka, Mas Arya..." aku tertunduk malu, rasanya masih geli memanggilnya begitu.

Kami berjalan berdampingan menuju apartemen, lalu Mas Arya membukakan kuncinya.

"Welcome home, Hani ... selamat datang di rumah kita." Kurasakan tangan Mas Arya menggenggamku erat. Ia memberi senyuman terhangat yang pernah kurasakan sejak pertama kami berjumpa.
Kupandangi ruangan yang sangat kukenal itu. Di sinilah kisah hidup kami yang baru akan dimulai ....

***

My Sweet AssistantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang