Gue baru balik dari Bandung untuk bertemu klien tadi pagi. Sudah jam setengah tiga sore, tapi belum sempat makan siang. Sepertinya menu lunch yang tidak terlalu berat saja cukup untuk mengganjal perut yang sudah mulai bertalu-talu sebelum makan malam nanti. Entah hidayah dari mana, gue mengarahkan setir menuju halaman sebuah cafe. Tiba-tiba gue kangen sandwich telur dan mint tea di cafe Hani. Gue penasaran juga bagaimana kabar calon Nyonya Salim itu sekarang. Ya ... meskipun kemungkinan besar dia tidak ada di sana, karena besok adalah hari lamaran Lim dan Hani."Apa saya boleh duduk di sini, Pak?"
Seketika gue berhenti mengunyah dan memastikan pemilik suara familiar yang baru saja menyapa itu. Hani berdiri di samping meja gue. Matanya sembab dengan wajah yang kusut masai. Badannya memang ada di sini, tapi gue yakin pikirannya menerawang entah ke mana.
"Sejak kapan owner harus meminta izin untuk duduk di cafenya sendiri?" Gue berusaha menjawab dengan wajar, tidak ingin mengungkit masalah penampilannya yang tidak biasa. "Kamu sudah makan? Mau saya traktir?"
Hani menggeleng lemah, dia menggeser kursi dan duduk di hadapan gue. Pandangannya lurus ke arah jendela dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Meskipun lapar, tapi gue jadi kehilangan semangat untuk melanjutkan makan saat itu.
"Sepertinya kamu sedang kurang sehat, Hani? Ini belum saya minum, siapa tahu bisa lebih enakan." Gue angsurkan secangkir mint tea hangat ke dekat Hani. Dia menyeruput teh itu perlahan.
Meskipun Hani masih diam, tapi firasat gue mengatakan kalau sedang terjadi sesuatu. Sesuatu yang tidak baik-baik saja. Dalam kondisi seperti ini, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kalimat apa yang harus diucapkan. Apalagi, kata orang perempuan itu susah ditebak, salah-salah kata bisa-bisa gue malah memperburuk keadaan. Jadi gue putuskan untuk menghabiskan sandwich sambil berpikir basa-basi untuk membasahi pertemuan yang kalau di komik akan dipenuhi dengan suara jangkrik.
Tiba-tiba handphone gue bergetar, sebuah panggilan masuk muncul di layar.
Hani is calling ....
"Hani? Kenapa menelepon orang yang jelas-jelas ada didepan kamu?"
"Dulu Bapak pernah bilang untuk menjadikan nomor Bapak sebagai kontak bantuan nomor 1 'kan?"
Gue mengangguk.
"Apakah boleh saya menggunakan menggunakan fasilitas itu sekarang?"
"Sure!" jawab gue mantap meskipun dalam kebingungan.
"Lim membatalkan rencana pernikahan kami. Apa yang harus saya lakukan, Pak Arya?'
Setelah mengucapkan kalimat itu, tidak ada lagi yang terdengar dari hani kecuali suara isak tangis. Tiba-tiba dada gue rasanya bergemuruh. Kesal, marah, kecewa, semuanya bercampur aduk. Bisa-bisanya Lim memperlakukan Hani seperti ini. Belum juga menikah, dia sudah bikin Hani menangis. Apa semua laki-laki dengan mudah berubah jadi seperti Papa?
"Kamu baik-baik saja, Han?"
Dia menggeleng lagi, dan sekarang air matanya semakin deras. Hani menangis tergugu hingga bahunya berguncang. Payahnya, berhadapan dengan perempuan menangis adalah kelemahan terbesar gue. Rasanya lebih baik dicereweti daripada seperti ini.
"Saya nggak tahu apa yang terjadi di antara kalian dan tidak tahu kalimat apa yang bisa menghibur kamu. Tapi ... kalau kamu rasa saat ini menangis akan membuat perasaanmu lebih baik, menangislah. Tidak usah ditahan. Akan saya temani sampai kamu lebih lega."
Sejujurnya, gue benar-benar kesal pada diri sendiri, karena tidak bisa membantu apapun selain menyaksikannya menangis. Untung saja Lim tidak ada di sini, karena dia tidak akan bisa menghindari kepalan tinju gue yang mendarat di wajahnya. Bukannya mereka sudah kenal lama dan besok adalah hari lamaran yang sudah disiapkan dalam tiga bulan ini? Kenapa begitu mudah merusak komitmen dan membatalkan semuanya? Banyak pertanyaan yang meluap-luap di kepala, tapi enggak sanggup untuk gue lontarkan. Melihat wajah Hani yang begitu terluka, rasanya tidak ada yang ingin gue lakukan selain menyediakan bahu sebagai tempatnya untuk bersandar. Ya ... tapi itu pun hanya ada dalam angan-angan gue. Tentu saja Hani tidak akan mau menyandarkan kepalanya di bahu pria asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Assistant
عاطفيةUntuk apa menikah? Bagi Arya, kehidupannya yang mapan dan ditemani segudang buku sudah lebih dari cukup. Buku adalah teman setia tanpa tuntutan yang tidak pernah berkhianat. Namun, dunia Arya mulai berubah sejak kedatangan Hani. Seorang asisten ruma...