Happiness

361 60 3
                                    

[Kamu tahu, apa yang lebih cerah dari mentari pagi? Senyum kamu!]

Seketika mataku yang tadinya masih digantungi setan ngantuk langsung terbuka bak disiram cahaya malaikat. Lim! gemas sekali sih, kamu. Jam tiga pagi  udah whatsapp kayak gini. Balas nggak,  ya? Hmm ... balas deh.

Argh. Tapi balas apa? Assalamu'alaikum? nggak... hapus aja. Makasih? Ah kok kemanisan, hapus deh. Atau aku balas dengan kata-kata manis juga? No. Lagipula kami kan belum menikah, masa sih mau bermanis-manis. Hmm... emoticon aja deh!
:)
send.

Hmm... sedetik.. dua detik... kok nggak di read ya?

Duh, udah 10 detik nggak dibales juga. Ih, kesal!

Hm, tapi kok tiba-tiba aku jadi sedih begini. Kan mungkin Lim lagi sholat malam. Pasti dia lagi doain aku jadi ga sempat buka HP. Aihh, kenapa kayak orang bingung begini sih aku? Haduh ...

"Hani, sudah bangun?" syukurlah ibu mengetuk pintu kamar. Segera kukantongi ponsel dan langsung lompat membuka pintu.
"Wah, masih pagi sudah tersenyum lebar, kok tumben?" Ibu mencolek hidungku yang hemat oksigen alias mungil sekali.

"Ah, masa, sih, Bu?" Aku berusaha menurunkan ujung bibirku yang tampaknya belum berhenti terangkat dari bangun tidur tadi. "Ayo kita sholat bareng .... Hani temenin ya ke kamar mandi," kataku sambil merangkul pinggang ibu.

"Han, nanti kamu bisa bantu Ibu kan siapkan sarapan?"

"Pasti dong. Biasanya juga kan Hani bantu, Bu?"

"Hari ini harus lebih banyak! Sudah seminggu ini kelihatannya menu sarapan kita kurang, ya?" Ibu senyum-senyum sambil menjawil pinggangku. Aku paham maksud ibu, seminggu ini Lim selalu sarapan di rumah. Katanya sih, ingin ngobrol sama Ibu sebelum berangkat kerja. Lim beberapa kali menawarkan untuk mengantarku ke rumah Pak Arya, sejujurnya, aku senang dan tentu saja ingin. Akan tetapi, lebih sering kutolak, alasannya masih sama dengan yang lalu. Walau mungkin akan ada sedikit perubahan sekarang, karena ikatan kami sudah semakin kuat menuju pernikahan. Entahlah. 

"Hei, tuh melamun lagi kan. Tapi kok senyumnya hilang?" Ibu mulai menyelidik.

"Hani khawatir, Bu. Apa Lim serius mau menikahi Hani? kata Lim, paling cepat, lamaran diadakan tiga bulan lagi. Resepsi baru tujuh bulan lagi. Lama sekali ... bagaimana kalau .... "

"Kalau Lim jatuh cinta sama perempuan lain? Apalagi sebentar lagi dia akan kembali ke Amerika." Ibu memotong kata-kataku. Memang ibu ini pembaca pikiran sejati. Aku cuma bisa menunduk menyembunyikan mukaku yang jadi hangat.

"Hani... pernikahan itu urusan besar buat keluarga Lim. Tidak seperti keluarga kita yang cukup menyelenggarakan pesta sederhana dan mengundang tetangga-tetangga, pernikahan Keluarga Hadiwijaya butuh persiapan matang dan pesta yang besar. Anggap saja, ini waktumu untuk belajar menyesuaikan diri. Ibu yakin, Lim itu anak yang setia."

"Masa sih, Bu? Lim kan dikelilingi banyak perempuan cantik."

"Kamu tahu nggak, Mami Lim kemarin kan datang ke rumah kita."

"Hah? Waktu aku kerja, Bu?" Aku ternganga. Itu pasti momen langka, karena Mami Lim sejak dulu sangat sibuk. Tapi Ibu dengan tenangnya mengangguk.

"Tahu tidak, Lim itu sama sekali tidak pernah dekat sama wanita, bahkan saat dia di Amerika. Kamu, Hani, satu-satunya perempuan yang pernah disebut Lim di depan mami dan kakaknya."

Mendengar kata-kata ibu, beban berat yang tadi ada di hatiku langsung lenyap. Bila dipikir lagi, enam bulan sebenarnya waktu yang cepat untuk standar keluarga seperti keluarga Lim. Mungkin, dia juga sudah berusaha secepat mungkin. Iya, Lim selalu teliti dan penuh perhitungan.

My Sweet AssistantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang