[Mas Liiim, kok lama sih? katanya mau bareng nyiapin dekorasi buat lamaran besok? jadi kan? Ibu udah masakin pecel kesukaan kamu, lho!]
Aku menutup ponsel. Ah belum dibalas juga, padahal sudah hampir siang begini. Hufh, jangan-jangan aku kalah sama meeting lagi deh! Aku melorot di kursi makan sambil menatap masakan ibu yang sudah disiapkannya dari subuh tadi. Mas Lim janji akan sarapan lalu akan bantu mendekorasi rumah. Pokoknya aku sudah booking jadwal dia seharian.
Tepat jam 11 siang, ponselku berdering. Pertanda tak baik. Mas Lim! Awas ya siap-siap saja aku omelin kalau gini!
"Honey...." terdengar suara Mas Lim, namun latar suara di belakangnya sangat riuh sampai aku tak bisa mendengarnya dengan jelas.
"Mas, kamu dimana? katanya mau ke rumah!"
"Honey, kamu lagi duduk atau berdiri?"
"Duduk, di depan pecel yang udah dingin banget..." jawabku ketus
"Honey ini penting... dan aku tahu kamu akan marah sekali.... tapi aku sudah berpikir keras semalaman. Aku minta maaf, Honey, aku tidak bisa melamarmu besok..."
Aku bingung. "Maksud Mas? reschedule?"
Mas Lim terdiam agak lama, lalu dia berdehem "Maksudku... aku.... sama sekali nggak bisa melamarmu...." suaranya terdengar gemetar..
Mas Lim lalu diam, aku pun terdiam. Serasa dunia berhenti berputar, hiruk pikuk saudara dan tetangga yang sibuk mempersiapkan acara esok pun tiba-tiba terdengar bisu di telingaku. Ya Allah apakah ini mimpi buruk saja?
"Pak Lim, serikat pekerja tidak menerima penawaran kita. Mereka minta bertemu langsung dengan Bapak." suara seorang laki-laki yang terdengar panik di seberang telepon membuyarkan lamunanku.
Sambungan ponsel terputus. Kakiku tiba-tiba melemah, kepalaku mulai terasa sangat berat, pandanganku memudar.
___
"Hani, Nak.... kamu sudah bangun?" suara ibu yang khawatir terdengar lamat-lamat. Aku mulai membuka mata. Tahu-tahu aku sudah di ranjang. Di samping ibu berdiri dokter Wulan, dokter pribadi keluarga Hadiwijaya. Kulihat jam dinding, pukul satu siang. Sepertinya aku pingsan tadi. Setelah mengecek keadaanku dan memastikan aku baik-baik saja, dokter Wulan pamit.
"Ibuu... Mas Lim...." aku tidak sanggup meneruskan kalimat. Aku cuma mau memeluk dan menangis di pundak Ibu. Aku menyesal, bukannya membuat ibu bahagia, masih saja aku membebani pundaknya dengan tangisku. Tapi aku tak punya orang lain untuk mengadu.
"Iya, ibu sudah tahu... nggak apa-apa Nak, nggak apa-apa. Allah pasti punya rencana yang lebih baik dari rencana kita. Nggak apa-apa..."
"Apa yang lebih baik, Bu. Apa?!" aku berteriak marah. Astaghfirullah Hani! aku mengutuk diriku sendiri atas ucapanku barusan. Ampuni aku ya Allah. Ibu memelukku lebih erat, mengulangi kata "Nggak apa apa" berulang kali.
Aku menyeret tubuhku ke kamar mandi. Wudhu, shalat, dan makan. Itu saja yang kubutuhkan sekarang. Badanku kebas. Pikiranku kosong.
Tiba-tiba ponselku berdering lagi, jantungku berdegup kencang sekali. Apa Mas Lim tadi salah bicara? jadi dia menelepon lagi? Buru-buru kuraih ponsel itu, tapi ternyata bukan. Bodohnya aku, itu bahkan bukan dering khusus Mas Limku. Itu dari Toni, manajer dapur kafe. Dia minta maaf mengganggu persiapan lamaran tapi ada keadaan darurat karena salah satu supplier penting kami hari ini tiba-tiba tidak bisa mengirim. Mau tidak mau aku harus ke kafe. Mana mereka tahu kalau pernikahan impianku sejak kecil tiba-tiba pupus hari ini. Jangan-jangan ini perasaan Mas Lim setiap hari dan setiap saat
Aku tidak berselera makan, pun tak ada waktu untuk berdandan dengan pantas, mungkin wajahku masih terlihat sembab. Masa bodoh, aku juga butuh pergi dari hiruk pikuk persiapan pesta ini. Segera aku pamit pada ibu yang wajahnya terlihat bingung, "Hani harus ke kafe, Bu. Nanti Hani bantu bereskan."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Assistant
RomanceUntuk apa menikah? Bagi Arya, kehidupannya yang mapan dan ditemani segudang buku sudah lebih dari cukup. Buku adalah teman setia tanpa tuntutan yang tidak pernah berkhianat. Namun, dunia Arya mulai berubah sejak kedatangan Hani. Seorang asisten ruma...