Reconciliation

368 61 4
                                    

[Arya, Om Dharma kecelakaan mobil, sekarang dirawat di rumah sakit.]
Pesan singkat dari Hendra menginterupsi meeting R&D yang sedang gue pimpin. Setelah menekan tombol home gue letakkan kembali ponsel di meja dan melanjutkan meeting. Sepuluh menit kemudian ponsel gue berdering. Semua orang terdiam memandang telepon pintar itu bergetar, seperti meraung-raung minta dijawab.

"Arya, kenapa pesan gue cuma di-read doang? Memangnya gue ini secret admirer lo yang pesannya nggak perlu dibalas?"

"Sorry, gue lagi meeting, Hendra."

"Oh ... jadi meeting itu lebih penting daripada kabar bokap lo yang lagi terbaring di rumah sakit? Beliau kehilangan banyak darah butuh transfusi."

"Jadi menurut lo gue harus gimana?"

"Kalau gue jadi lo, meetingnya gue batalkan terus langsung ke rumah sakit. lo harus ingat, bagaimanapun situasinya, darah Om Dharma tetap mengalir dalam badan lo, Arya. Golongan darah kalian sama kan?"

Gue menghela napas panjang, mendengar fakta ini. Hendra benar, seberapapun bencinya gue ke Papa, Bapak Dharma Bimantara sampai kapanpun statusnya tetap bapak gue. Setengah gen dalam tubuh gue berasal dari beliau.

Sebetulnya gue sempat iri kepada Lim waktu dia mengatakan bahwa papinya adalah ayah terbaik di dunia. Meskipun mereka tidak punya banyak waktu bersama, tapi setidaknya yang ada dalam memorinya adalah rasa bangga. Begitu pula dengan Ayah Hani, meskipun tidak bisa membersamainya  sampai dewasa, tapi tampaknya sosok sang ayah terpatri kuat dalam hatinya. Bahkan, di kala sedih pun Hani memilih mendatangi makam ayahnya untuk menenangkan diri. Gue bertanya-tanya, apa masih mungkin hubungan gue dan papa bisa jadi seperti mereka? Ikatan hati antara ayah dan anak yang harmonis, buat gue seperti miracle yang tidak tergantikan dengan apa pun.

"Halo ... Arya! Kok suara Lo nggak kedengaran?"

"OK sebentar lagi gue langsung ke rumah sakit. Tolong kirim alamatnya, ya."

Dalam perjalanan ke rumah sakit, entah kenapa gue merasa deg-degan dan gugup yang tidak jelas. Entah karena tidak siap bertemu Papa atau karena khawatir dengan keselamatan beliau. Satu hal yang jelas, gue ingin segera sampai di sana untuk mendonorkan darah. Sebelum semuanya terlambat dan jadi penyesalan gue seumur hidup.

"Arya?" Papa tampak kaget waktu terbangun dan melihat gue di sebelah tempat tidurnya.

"Ehm ... tadi Hendra telepon dan menyuruhku datang ke sini." Akhirnya kalimat itu yang meluncur dari mulut gue. Padahal seharusnya gue menanyakan bagaimana kabar Papa.

"Selamat malam, Pak Dharma. Bagaimana kabarnya? Sudah lebih baik setelah beristirahat?" Seorang perawat masuk untuk memeriksa Papa. "Bapak beruntung sekali, putra Bapak datang mendonorkan darahnya dan menemani di sini sejak siang tadi."

Papa memandang dengan mata yang berembun. Tangannya yang ditusuk selang infus berusaha menggenggam telapak tangan gue. Rasanya hangat ....

"Terimakasih, Arya. Alhamdulillah ... Papa mensyukuri kecelakaan ini karena sudah bisa membuat kamu mau mendatangi papa."

Gue cuma mengangguk dan tidak tahu harus menjawab apa. Setelah itu kami sama-sama diam kehabisan bahan pembicaraan.

"Arya, kalau boleh ... Papa mau minta tolong untuk mengambil pakaian ganti dari rumah."

Permintaan itu langsung gue iyakan, setidaknya ada alasan buat segera keluar dari ruangan itu. Gue tidak tahan berada dalam situasi yang awkward seperti itu. 

Asisten rumah tangga Papa mempersilakan gue untuk mengambil sendiri pakaian Papa. Mungkin dia pikir, sebagai anak, gue lebih berhak untuk membuka lemari pribadi beliau. Sepertinya dia tidak tahu kalau hubungan kami tidak jauh beda layaknya orang asing yang baru saja berkenalan.

My Sweet AssistantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang