•Senyuman Manis•

4 3 0
                                    

Alarm pukul 5.00 pagi bergema dalam ruangan berluas 100 meter persegi. baru 3 detik berbunyi, sebuah tangan menekan jam weker berwarna biru tersebut hingga kembali sunyi.

Setelah puas menggeliat, akhirnya Haura bangkit dari tempat tidurnya dan segera masuk ke kamar mandi. Tak lupa, Haura  juga segera memenuhi kewajibannya pada tuhan. Ia memakai mukena putih, lalu mendirikan shalat shubuh.

Shalat shubuh diakhiri dengan salam, Haura langsung bersiap memakai seragam sekolahnya. Kemeja putih dipadu rok kotak-kotak berwarna mocca dengan dasi senada merupakan seragam kebanggaan SMA Reach Star. Sebuah SMA elite yang hanya bisa dimasuki oleh siswa pintar dan juga anak sultan.

Kalau Haura masuk kelompok yang mana? Jelas bukan dua-duanya. Meskipun orang tuanya mampu untuk membayar biaya sekolah Haura, tapi gadis itu lebih memilih untuk mengambil beasiswa.

Lalu apakah Haura adalah anak pintar? Tidak juga! Kemampuan otaknya hanya berada di tingkat rata-rata. Haura memiliki beasiswa dari perusahaan pamannya. Jadi begitu ia mendaftar beasiswa tersebut, tentu saja langsung diterima.

Biasa lah, jalur orang dalam adalah jalur paling ampuh!

Setelah siap dengan ransel di punggungnya, Haura segera turun ke bawah. Ia memasak telur mata sapi untuk sarapan. Sejujurnya Haura lebih suka sarapan nasi daripada roti. Tahu kenapa? Karena sebanyak apapun rotinya, tidak akan membuat perut Haura kenyang, yang ada malah bikin eneg.

Pagi ini Haura masak sendiri dikarenakan mamanya yang seorang dosen harus berangkat pagi-pagi sekali tanpa sempat memasak. Haura sudah terbiasa dengan itu. Sedangkan ayahnya memang jarang pulang ke rumah dikarenakan ada dinas di luar kota.

"Sendiri lagi, sendiri lagi," gumamnya sembari menyimpan piring di atas meja.

Saat ia hendak menyuapkan satu sendok nasi, tiba-tiba ponsel di dalam sakunya berdering. Haura langsung mengangkatnya setelah tahu bahwa itu adalah Panca.

"Halo, Kak. Lagi butuh apa?" tanyanya tanpa basa-basi.

Haura sudah hafal betul tentang kelakuan kakaknya itu. Tidak mungkin menelepon jika tidak ada butuhnya.

Huh, kakak macam apa!

"Hello, Dear! How are you?"

"Gak usah sok Inggris, lo! Mentang-mentang kuliah di Amrik," ketusnya dengan mulut penuh nasi.

Ya, Panca memang kuliah di Amerika dengan beasiswa 50 persen. Haura mengakui kalau beasiswa yang diberikan pada kakaknya itu murni karena Panca pintar. Lihat saja, di dalam rak kaca ruang tengah hanya piala Panca saja yang berjajar. Sedangkan milik dirinya hanya piala lomba makan kerupuk saat 17 Agustusan di SD.

"Makannya belajar, woy! Siapa tau nyusulin gue ke sini." Panca terkekeh geli dari seberang sana. "Lo lagi ngapain?"

"Apaan dah, to the point aja! Gak usah nanya-nanya, lo bukan pacar gue!"

"Oke.. oke..." Panca menjeda. "Bulan depan lo ulang tahun, 'kan? Mau hadiah apa dari gue?"

Haura menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian ia memeriksa kalender dan benar saja bahwa bulan depan adalah ulang tahunnya yang ke-18.

Seketika muncul sebuah ide dari otaknya, kini Haura tersenyum miring. "Gue pengen papeda buatan lo."

"Heh, ngaco! kado macem apaan!"

"Pokoknya gue pengen itu."

"Ya gimana caranya?" 

"Lo harus pulang, lah. Pokoknya lo harus pulang!" ucapnya kukuh.

Bagian yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang