•Menelan Ludah Sendiri•

3 0 0
                                    

4 Agustus 2019

Pagi-pagi sekali Haura sudah berada di lapang Pratasari. Lapangan ini adalah lapangan terbesar yang berada di kotanya. Banyak orang yang berkunjung kemari untuk melakukan olahraga. Entah itu senam bersama, atau hanya sekedar jooging.

Haura yang duduk di kursi batu sedang sibuk dengan ponselnya. Ia setia menunggu balasan dari sang empu yang sudah ngaret selama setengah jam.

"Awas aja kalo lo udah dateng, gue bejek-bejek muka lo. Enak aja bikin gue nunggu, padahal lo yang bikin janji," dumel Haura yang kemudian meremas ponselnya.

Bosan menunggu, akhirnya Haura memusatkan perhatian pada barisan ibu-ibu yang sedang senam. Instruktur olahraga tersebut terus berteriak untuk memeriahkan acaranya.

Sebenarnya Haura sangat bersemangat untuk olahraga, karena ia merasa perutnya semakin buncit saja akhir-akhir ini. Dengan memakai kaus putih dan celana joger serta topi yang sama-sama berwarna cookies, kini Haura berakhir menyendiri. Masih mending kalo ditemenin pacar, pada kenyataannya Haura yang jomblo merasa kesepian di tempat itu.

Setelah 15 menit berlalu, barulah sebuah tangan kekar menepuk bahunya dari belakang. Pada detik yang bersamaan, Haura langsung menarik tangan tersebut dan menggelintirnya tanpa ampun.

"Anjir tangan gue sakit, woy!"

Namun ternyata itu bukan tangan Gian seperti yang ia duga, tapi tangan Genta. Meskipun demikian, Haura masih engan melepaskan jurusnya. Kini tatapan tajamnya beralih pada Gian yang sedang tertawa.

"Woy, Haura! Lepasin tangan gue. Kalo sampe putus, siapa yang mau tanggungjawab ah elah," rintih Genta. "Gue baru aja diputusin pacar gue, masa tangan gue juga ikut putus," gerutunya setelah tangannya terbebas. Cowok itu membenarkan kaus yang dipakainya lalu menepuk topi yang dipakai Haura hingga sang empunya berteriak.

"Padahal kurang keras, Ra. Tuh anak yang bikin gue ngaret. Janjinya jam 7, tapi ternyata masih tidur." Gian duduk di tempat bekas Haura lalu meminum air yang berada dalam botol pink.

"Ga tau ah, pokoknya gue bete. Gak mood banget buat olahraga."

"Yaudah, sih. Gapapa kalo lo gak mau olahraga. Soalnya kita yang harus olahraga," ucap Genta sembari merangkul Gian dan tersenyum lebar.

Haura menatap keduanya secara bergantian. Ia baru menyadari kalau Genta dan Gian sama-sama memakai pakaian olahraga sekolah.

"Oh, lo ngajak gue ke sini cuma buat ngebebanin gue?" Haura mengembungkan pipinya sembari memeluk tangan di depan dada.

Haura tahu betul kalau kelas 10 yang diajar oleh Pak Ibrahim harus membuat vidio yang berkaitan dengan senam aerobik. Haura sudah dapat menebak kalau dirinya pasti akan dijadikan vidiografer dadakan.

Menyebalkan

"Ya kalo lo mau, sekalian aja kita bikin sama-sama. Nanti gue yang vidio," kata Gian.

"Ya enggak lah, guru olahraga kita kan beda," tolak Haura judes.

"Yaudah, ikhlas aja. mudah-mudahan dapet pahala," sahut Genta.

Genta mengibaskan tangannya di depan hidung, cowok itu sangat tidak menyukai asap rokok yang keluar dari mulut bapak-bapak di sampingnya.

"Wah, pagi-pagi udah ada yang ngerokok. Ngerugiin orang lain aja, heran. Capek-capek nyari duit, ujung-ujungnya dipake buat nyari penyakit. Heran!" gerutu Genta dengan suara pelan.

"Cih, dusta!" timpal Haura setengah kesal. "Sekarang ngomong gitu, palingan nanti juga ngerokok. Banyak tuh kakak kelas yang sering bikin WC sekolah jadi bau rokok."

Bagian yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang