"Polisi mengungkapkan bahwa mayat pemuda yang ditemukan di pinggir danau minggu lalu diduga telah melakukan aksi bunuh diri dengan sengaja menelan Pil Belladonna. Hal ini dibuktikan dengan temuan botol berisi pil tersebut, tak jauh dari keberadaan korban dan--"
"Polisi gak guna!" Sentak Haura sembari mematikan televisi yang berada di hadapannya.
Gadis itu duduk di sofa coklat ruang tengah sembari memeluk lututnya. Mata sayu yang terlihat tak segar merupakan ciri bahwa hidupnya sedang tidak baik-baik saja.
"Sudah, Ra. Lupain aja. Polisi pasti sudah melakukan yang terbaik untuk Gian," ucap Lina sembari membawa segelas jus tomat untuk putrinya.
Lina menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajah gadis itu ke telinga, lalu mengusap kepalanya. "Ikhlasin aja, Sayang."
"Tapi Gian gak mungkin kayak gitu, Ma! Gian gak punya masalah hidup sampe dia harus bunuh diri kayak gitu. Lagian sebelum kejadian itu, Gian baik-baik aja, kok."
Lina tersenyum hangat. Entah sudah ke berapa kalinya Haura mengucapkan hal serupa itu. "Kamu gak bakalan tahu gimana isi hati orang, Ra. Mungkin keliatan baik-baik aja, padahal dia lagi banyak masalah."
Haura berdecak kesal. ia mengambil jus yang disiapkan mamanya lalu pergi ke kamar. perempuan itu merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari memainkan ponsel.
Semenjak kematian Gian, Haura lebih sering melamun sendiri. Ia masih memikirkan kemungkinan yang terjadi pada temannya itu. Gian yang ia kenal bukanlah lelaki yang bodoh. Ia yakin bahwa Gian tak mungkin meminum pil mematikan itu dengan sengaja.
Haura meratapi layar ponsel yang menampilkan ruang chatt, terlihat banyak pesan yang ia kirimkan pada Gian sejak minggu lalu. Tak ada balasan dari cowok itu, bahkan ponselnya memang hilang entah kemana.
"Haha, kenapa gue segila ini, Gi?"
"Gue kangen sama lo, Gi. Apa gue harus nyusul?" gumamnya seolah tak punya semangat.
Haura memang memiliki banyak teman, namun yang seperti Gian hanya ada satu. Bukankah pantas jika Haura tidak ikhlas kehilangan Gian begitu saja?
Masih dengan ponsel di tangannya, tiba-tiba keningnya berkerut kala melihat perubahan ceklis pada pesan yang ia kirimkan.
Ceklis dua.
Bukankah itu pertanda bahwa ponsel milik Gian baru saja diaktifkan?
Tanpa lama-lama, Haura langsung menekan icon telepon untuk menghubungi nomor tersebut. Namun ia malah diriject, hal itu membuatnya semakin geram.
"Ck, angkat dong plis!"
Haura berusaha meneleponnya beberapakali, namun tetap saja tidak ada kemajuan. Hingga beberapa detik kemudian, Haura mendapat balasan dari nomor Gian.
Gian : Jangan bertingkah!
***
Senin.
Kini Haura benar-benar membenci hari ini. Setelah puas mengunci diri di kamar selama seminggu, akhirnya Haura dapat kembali ke sekolah.
Demi apapun, Haura benar-benar malas untuk mengikuti pelajaran hari ini. Guru sejarahnya terus berbicara tanpa henti, menceritakan sejarah perjuangan pahlawan yang sudah pernah didengarnya lebih dari 3 kali.
Apakah itu adalah materi favorit gurunya? Selama ini bab yang ia pelajari hanya itu-itu saja. Tidak pernah beralih ke bab yang lain.
"Ra, jawab tuh Pak Cecep." Valen menyikut Haura yang sedang mencoret-coret bukunya tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagian yang Hilang
Novela Juvenil"Gian itu bukan bunuh diri, tapi dibunuh!" bentak Haura penuh emosi. "Oke kalo itu emang anggapan lo. Tapi siapa yang bunuh dia?" "lo!" ucapan yang keluar dari mulut Haura sukses membuat orang di hadapannya membisu. "Lo bunuh temen gue!" ...