15

262 25 17
                                    

Seorang lelaki meraih payudaranya dan tertawa melihat Ji Na panik. Tapi, dia malah memukul rusuk Ji Na. Napas Ji Na terhenti, sesak karena kesakitan, lalu ia jatuh berlutut, mengetahui mereka bisa menendangnya, mengetahui tanah di bawah penuh serangga, lumpur, dan semua yang lebih buruk lagi. la berjuang untuk tetap tegak, berjuang, berjuang..

Tersentak bangun dengan kaget, Ji Na memekik dan segera, Min Tae Gu masuk ke kamar tidur. "Hei. Tidak apá-apa."

Lampu di langit-langit menyala, menyilaukan Ji Na. Tempat tidụr melesak saat Min Tae Gu duduk di sebelahnya, menariknyá ke pelukan. Kerongkonga Ji Na terlalu sesák hingga ia tak bisa menelan, membara dengan desakan ingin menangis. la memang menangis. Terasa air mata panas di pipi, dan rasa malu menyerangnya.
Marah kepada diri sendiri, kepada para bajingan yang melakukan ini kepadanya, ia berusaha melepas- kan diri dari Min Tae Gu.

Min Tae Gu semakin erat memeluknya. "Jangan lakukan itu, Ji Naya. Aku mengerti. Aku tahu. Tapi, jangan menyuruhku menjauh." Min Tae Gu mencium rambutnya, melingkarkan lengan yang luar biasa kuat itu di tubuhnya.

"Aku benci mereka." Suara Ji Na terdengar tinggi dan serak, membuatnya semakin marah. Semakin malu.

"Aku juga." Min Tae Gu bergeser dan menariknya ke pangkuan. "Kau mau dengar cerita saat aku muda, saat dadaku tertusuk pisau?"

Itu menarik perhatian Ji Na, dan ia mengangguk untuk memberitahu Min Tae Gu dirinya mendengarkan.

"Aku sangat murka sehingga kalap. Terutama kepada diri sendiri karena tidak mampu mencegahnya, tapi juga kepada orang yang melakukan itu. Butuh waktu berminggu-minggu untuk pulih, terutama setelah aku terkena infeksi."

Min Tae Gu mengenakan kaus sekarang, dan Ji Na diam-diam berusaha mengeringkan air mata di bahan katun lembut itu.

Min Tae Gu meraih seprai lalu mendekatkan ujungnya kepada Ji Na. "Kau butuh tisu?"

"Tidak." Ji Na kedengaran tercekik, seolah tangan-tangan menyeramkan itu melingkari lehernya lagi, mengancam membunuhnyýa. la membenamkan lagi wajah ke dada Min Tae Gu. Mengabaikan keparauan suara, kelemahannya, ia bertanya, "Mengapa kau sampai ditikam?"

"Ini tidak untuk diceritakan lagi kepada yang lain."

Ji Na mengangguk.

"Putra walikota Busan disandera. Aku dibayar untuk mengembalikannya. Aku yang ditugaskan, karena belum ada yang mengenalku. Aku masih baru, sudah dites tapi belum dicoba, jika kau mengerti maksudku."
Tangan Min Tae Gu bergerak di punggung Ji Na, naik- turun, bukan gerakan sensual, tetapi masih posesif.

Ji Na mencoba menahan gelombang air mata baru. "Tidak."

"Aku sudah dilatih. Semua orang tahu apa yang bisa kulakukan dalam tes-tes aksi langsung, tapi aku belum pernah bertugas di lapangan. Ini aksi per danaku. Dan aku hampir mengacaukannya."

Seiring mimpi buruknya memudar, Ji Na menjilat bibir yang kering. "Tapi kau tidak mengacaukan- nya?"

"Tidak, syukurlah. Tidak sepenuhnya. Jika ya, anak itu pasti sudah tewas. Omong-omong soal mimpi buruk." Min Tae Gu menggeleng dan mengeratkan pelukan lagi. Setelah bernapas dalam, dia melanjutkan. "Anak lelaki itu, dulu kira-kira berumur dua belas tahun, ditahan di sebuah gedung besar dan mewah di Jamsil. Tempat itu dimiliki pebisnis kaya, yang disangka patuh hukum.
Tidak ada orang yang terpikir mencari anak itu di sana. Tapi, aku selalu memiliki insting yang tajam, dan melacak jejaknya hingga lokasi itu."

"Bagaimana?"

"Kau hampir selalu bisa menilai seseorang dari rekan-rekan sejawat mereka. Jika seseorang cukup banyak berhubungan dengan orang-orang yang karakternya dipertanyakan, aku akan menilainya begitu juga."

HOT SAUCE (cinta penuh tantangan) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang